Pendeta Paul Yonggi Cho berhasil menjadikan Yoido Full Gospel Church (YFGC) di Seoul, sebagai gereja lokal terbesar di dunia.
MUNGKIN tak pernah ada yang menyangka bahwa ternyata semangat dan geliat kekristenan di Korsel sangat tinggi. Pertumbuhan dari pergerakan rohani tercepat di dunia saat ini adalah gereja injili di Korsel, sebuah gereja yang telah menetapkan sasaran untuk mengirimkan 10.000 misionaris lintas budaya pada akhir tahun 1980-an. Dengan konsep manajemen gereja kreasinya, Cho berhasil menyemarakkan FGCC.
Dulu berawal dari ibadah di bawah tenda dan berkembang menjadi jemaat yang berjumlah lebih dari 800.000 orang. FGCC mempekerjakan lebih dari 300 pendeta tetap dan mengadakan tujuh kali kebaktian setiap Minggu di auditorium utama dan kapel di sebelahnya yang menampung kira-kira 30.000 orang.Terlepas dari jumlah tersebut,pelayanan Cho sendiri sangatlah mengesankan. Penginjilan adalah tujuan utamanya dan dia telah memberikan strategi penginjilannya ke seluruh dunia. Menurutnya, pelayanan misi adalah tujuan utama dari pertumbuhan gereja. Hal tersebut merupakan strategi pertumbuhan gerejanya.
Dalam rangka menyebarkan strategi pertumbuhan gerejanya itu, Pendeta Cho mendirikan Church Growth International. Pendeta Cho melakukan perjalanan secara ekstensif untuk mengadakan seminar di berbagai negara. Dia mendorong para pendeta untuk menerapkan prinsip-prinsip kelompok selnya di gereja mereka masing-masing. ”Ada tiga kekuatan spiritual di bumi. Kekuatan Tuhan, manusia, dan setan. Ketiga kekuatan ini bersatu dalam dimensi keempat.Jadi secara alamiah,kekuatan- kekuatan tersebut dapat melayang- layang membayangi materi dimensi ketiga dan menciptakan berbagai kekuatan kreatif lainnya,” ungkap Cho filosofis yang dengan usahanya menginginkan manusia menjelma menjadi kekuatan positif.
Cho dilahirkan sebagai penganut Buddha dan berpindah keyakinan menjadi Kristen pada usia 17 tahun setelah mendengar cerita-cerita seputar kekristenan dari teman saudara perempuannya yang beragama Kristen. Cho menderita TBC ketika masih kecil dan beberapa orang memperkirakan dia tidak akan bisa bertahan sampai dewasa. Kondisi fisiknya yang lemah menarik perhatian seorang wanita Kristen yang mulai mengunjungi dia. Melalui kesaksian wanita itu, Cho pun berubah.
Pada saat pertobatannya, Cho mulai berpikir dan bergumul tentang kerinduannya untuk dapat melayani Tuhan.Pada tahun-tahun selama pertumbuhan rohaninya, dia mulai meletakkan dasar untuk melakukan pelayanan Kristen secara penuh. Sesudah itu, menurutnya, dia menjalani berbagai pengalaman spiritual dalam agama Kristen,termasuk apa yang disebut Pentakosta dan Katolik sebagai pembaptisan Roh Kudus – penganut Kristen menyebutnya dengan istilah glossolalia (berbahasa roh)– di mana Cho mengklaim telah melihat Yesus menampakkan dirinya.
Menurut penuturannya, inspirasi berkhotbah dan pengabdian diri sebagai pendeta berawal dari penglihatan kunjungan pribadi Yesus kepada dirinya.
Pengalaman spiritual ini menjadikan Cho percaya diri untuk mengembangkan sayap kekristenan di kawasan tempat tinggalnya. Pada Mei 1958, Cho menggelar layanan kebaktian pertama di rumah temannya,Choi Jashil.Kebaktian tersebut hanya dihadiri Cho dan tiga temannya yang lain. Namun seiring perjalanan waktu, jemaat Cho berkembang pesat mencapai angka 50-an. Dengan sabar dan giatnya, Cho beserta jemaat lain mengajarkan agama Kristen dengan mengetuk satu pintu ke pintu lain di tempatnya tinggal, Seodaemun.
Pada 1961, Cho mendirikan sebuah gereja di Seodaemun dan diberi nama Gereja Daejo. Menyadari semakin banyak jemaat yang dibimbingnya, suami dari Kim Sung-hye ini membagi Seoul menjadi 20 zona gereja atau apa yang disebutnya ”sel”.Dengan demikian, Cho mulai melatih orang-orang yang selanjutnya dijadikan pemimpin setiap sel. Secara tekun Cho melatih mereka liturgi kebaktian dan studi Alkitab di rumah masing-masing. Selayaknya sistem multi-level marketing (MLM), setiap pemimpin sel diharuskan melatih orang yang kemudian dijadikan asistennya guna mengantisipasi meningkatnya jemaat. Kesuksesan konsep kelompok sel ini mengejutkan sekaligus membuat optimistis para jemaat gereja.
Pada 1968, jumlah jemaat gereja Seodaemun mencapai 8.000 orang. Puas dengan perkembangan signifikan Kristen di Seodaemun, Cho melebarkan sayap ekspansi religiusnya ke Kepulauan Yoido di kawasan Sungai Han.Saat itu, daerah Yoido masih berupa tanah kosong dengan bukit-bukit pasir yang gersang. Persoalan ekonomi sempat menunda pembangunan Gereja Yoido. Namun dengan berbagai usaha, akhirnya pada 1973 aula gereja berkapasitas 10.000 tempat duduk berhasil diselesaikan.Kebaktian pertama diadakan pada 23 September 1973.
Pada tahun yang sama, Cho membangun sebuah kamar di Gereja Yoido agar setiap jemaat dapat mengunci dirinya untuk berdoa dan berpuasa. Kini kamar yang diberi nama Gunung Doa itu dikunjungi sekitar 1 juta orang setiap tahunnya, termasuk 10.000 jemaat asing. Cho telah menghabiskan masa 44 tahun untuk mengampanyekan betapa pentingnya pendirian dinas pemerintah untuk mengatur kelompok sel gereja tersebut. Cho berkeyakinan, dinas pemerintah merupakan kunci sukses perkembangan gereja di Korsel.
Selain konsep sel yang dikembangkannya, Cho juga berhasil melakukan domestifikasi ajaran Kristen di Korsel dengan baik. Salah satu buktinya adalah penggunaan istilah Hananim untuk Tuhan dalam bahasa Korea, dengan menghindari istilah yang diambil dari China yang digunakan oleh umat Katolik. ”Penggunaan istilah Hananim adalah sangat tepat untuk misi Kristen di Korsel.Mereka melakukan penginjilan di rumah-rumah, kota-kota, dan di desa-desa. Kaum misionaris Protestan memulai dengan memastikan kepercayaan orang Korsel kepada Hananim.
Dengan membangun dasar seperti itu, orang Protestan tidak mengganggu sifat alamiah antipati orang Korsel untuk tunduk pada kekuatan ketuhanan,” urai Don Richardson,pengamat kekristenan. (berbagai sumber/syarifudin)
PAUL YONGGI CHO, Tokoh Religius dari Seodaemun