Banyak yang terkejut saat gugatan Pak Harto menang di tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Keterkejutan itu bisa dipahami karena dalam kondisi sekarang, sulit rasanya bagi Pak Harto untuk bisa lepas dari berbagai tuntutan hukum. Ini terlepas dari saat menjadi presiden selama 32 tahun beliau pernah diberi predikat "Bapak Pembangunan" dan "jenderal besar".
"Nasib" Pak Harto hampir sama dengan nasib Bung Karno menjelang kejatuhannya. Jika Pak Harto dihujat, Bung Karno dicaci habis-habisan. Dari kediktatorannya, korupsi, sampai ke kehidupan pribadinya. Baik Bung Karno maupun Pak Harto, digambarkan sebagai "kaya raya", memiliki simpanan di luar negeri, dan sebagainya.
Menurut Time, Pak Harto memiliki kekayaan 15 miliar dollar AS (sekitar Rp 150 triliun, kurs Rp 9.400 per dolar AS). Sulitkah membuktikan kekayaan Pak Harto? Time dinilai tidak "obyektif dan kurang akurat, tidak sesuai dengan asas kepatutan" oleh Mahkamah Agung (MA). Oleh karena itu, penyiaran berita itu dinilai mencemarkan nama baik Pak Harto. Atas dasar itu, MA memenangkan kasasi Pak Harto.
Politik, hukum, dan etika
Dapat dipastikan, kasus Pak Harto semula terkait politik. Sebagai kasus politik tentu terkait dengan penyelenggaraan negara dan penyelesaiannya pada lembaga negara, DPR/MPR.
Sebagai presiden, Pak Harto terpilih dan memimpin selama dua bulan, lalu dijatuhkan oleh DPR/MPR yang sama. Dalam kurun waktu dua bulan, penilaian MPR atas Pak Harto berubah. Saat terpilih (Maret), Pak Harto bahkan dibekali mandat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk kelangsungan pembangunan. Dapatkah diartikan, kebijakan penyelenggaraan negara Pak Harto telah mendapat dukungan bulat?
Setelah jatuh, MPR menugaskan Presiden Habibie untuk mengadili Pak Harto, kemungkinan terlibat KKN dan sebagainya. Maka, selain terkait politik, Pak Harto juga terkait hukum. Berbagai perubahan itu berlangsung dengan tokoh-tokoh yang sama sehingga aspek etika (politik) juga muncul.
Benarkah kasus politik tidak perlu mempertimbangkan fakta, kebenaran sebenarnya? Dalam kurun waktu dua bulan itu, keadaan lingkungan berubah drastis. Krisis ekonomi yang menerpa Indonesia dan negara lain di Asia amat sulit dihindari. Namun, kondisi Indonesia berbeda. Kebijakan ekonomi selama Orde Baru tidak mampu melahirkan ketahanan ekonomi seperti di Malaysia. Sebagai Presiden, Pak Harto berusaha mematok nilai rupiah, tetapi tidak mampu melakukannya sebab Indonesia Indonesia tidak memiliki tabungan atau cadangan devisa yang besar. Malaysia berhasil mematok nilai ringgit karena memiliki cadangan devisa cukup besar. Maka, krisis ekonomi di Malaysia tak berdampak pada jatuhnya Perdana Menteri Mahathir Mohamad.
Sebagai kasus hukum, tentu harus melalui pengadilan. Pembuktian di pengadilan memerlukan fakta-fakta yang mendukung, tidak sekadar perubahan opini publik atau aspirasi rakyat.
Kasus ini diproses saat Pak Harto menggugat Time. Padahal, apa yang ditulis Time sering disampaikan banyak tokoh politik dan dimuat di media dalam negeri. Mengapa pers dan tokoh dalam negeri tidak digugat?
Keterkejutan masyarakat atas menangnya Pak Harto di MA disebabkan terbentuknya opini publik bahwa Pak Harto keliru secara politik, terkait kebijakan dalam penyelenggaraan negara. Di lembaga politik, pembuktian secara faktual tidak diperlukan. Ini berbeda dengan di lembaga pengadilan, saat Pak Harto menghadapi tuduhan korupsi.
Jika MA memenangkan Pak Harto, tentu setelah melalui berbagai penelitian atas fakta hukum. Benarkah Pak Harto menghimpun kekayaan Rp 150 triliun selama berkuasa?
Jika lalu disimpulkan, "tidak obyektif, tidak akurat, dan tidak sesuai dengan kepatutan", berarti fakta hukum itu keliru. MA, sebagai lembaga penegak hukum tertinggi, tentu harus menegakkan prinsip hukum, tegakkan keadilan meski langit runtuh.
Pembelajaran
Apa yang terjadi dengan kasus Time dapat dijadikan pembelajaran amat berharga bagi bangsa ini. Apa yang akan terjadi jika Bung Karno dulu diadili. Opini publik yang begitu kuat menghukum Bung Karno tentu akan menyulitkan aparat penegak hukum untuk lepas dari tekanan yang belum tentu benar itu. Apa jadinya bangsa ini jika dua presiden, pertama dan kedua, mengakhiri hidupnya di penjara?
Sebagai bangsa berbudaya, semoga bangsa ini masih memiliki aparat penegak hukum yang mampu menegakkan keadilan dan wisdom.
Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus
Majalah "Time" dan Pak Harto