Pelabuhan Priok berdayakan system SO untuk mengawal sistem TO |
Untuk suksesnya sistem Terminal Operator (TO) selama 5 tahun kedepan (2005 -2009), Pelabuhan Tanjung Priok akan mengoptimalkan fungsi SO (Supervisi Operasi) dengan menempatkannya di setiap terminal. Manajemen Pelabuhan Tanjung Priok tetap komit dan ingin membuktikan bahwa sistern Terminal Operator (TO) akan terus "dikawal", sehingga dalam perjalanannya dapat menjawab pertanyaan, bahwa dengan TO kinerja bongkar muat pelabuhan dapat lebih baik, bukan sebaliknya. Menyusul telah ditandatanganinya kerjasama pengoperasian terminal (TO) oleh 11 Perusahaan Bongkar Muat beberapa waktu silam (16 Maret 2005), manajemen Pelabuhan Priok terus melakukan langkah-langkah proaktif, sehingga catatan-catatan "Pahit" sistem TO pada periode sebelumnya tak terulang kembali. Salah satu yang ditempuh baru-baru ini adalah melakukan pembekalan pengetahuan penanganan barang di dermaga dan lapangan penumpukan kepada seluruh PBMTO (Perusahaan Bongkar Muat -Terminal Operator) di Pelabuhan Tanjung Priok. Pembekalan penanganan barang di terminal berlangsung di Lantai IV, Gedung Tehnik Cabang Pelabuhan Tanjung Priok, Senin, 18 April 2005, yang dihadiri oleh General Manager dan para Manager dilingkungan Cabang Pelabuhan Tanjung Priok. General Manager Pelabuhan Priok, Saptono Rahayu Irianto mengatakan, pembekalan ini dimaksudkan untuk memberikan penyegaran pengetahuan penanganan bongkar muat barang di terminal dengan cara yang tepat dan benar sehingga menghasilkan produktivitas kinerja bongkar muat yang tinggi dan efisien. Bahwa dengan penanganan bongkar muat barang di Terminal secara tepat dan benar, penggunaan alat sesuai dengan jenis barang serta ketersediaan peralatan bongkar muat yang memadai ikut menunjang kecepatan dalam memperoleh produktivitas penanganan barang di terminal dan lapangan penumpukan. "Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kinerja dan produktivitas di masing-masing terminal khususnya dan secara totalitas dapat meningkarkan mutu pelayanan di Pelabuhan Tanjung Priok pada umumnya melalui working effective time, throughput dan Iain-lain," kata Saptono. Disamping berdampak pada peningkatan produktivitas bongkar muat, diharapkan pula denagn pembekalan ini juga dapat mencegah terjadinya kerusakan atas asset atau fasilitas pelabuhan dan pencemaran lingkungan, bahkan dapat menimbulkan kecelakaan kerja yang diakibatkan adanya kesalahan dalam penanganan barang di terminal. Humas Pelabuhan Priok, Hambar Wiyadi mengatakan, pelaksanaan pembekalan ini dinilai sangat tepat waktu, mengingat beberapa waktu yang lalu sejumlah terminal di Pelabuhan Tanjung Priok dikelola oleh 11 Perusahaan Bongkar Muat Terminal Operator yang baru. Antara lain, Terminal Operator A (TO A): PT. Tangguh Samudera Jaya; TO B :PT. Olah Jasa Handal; TO C: FT. Prima Nur Panurjwan: TO E: PT. Kaluku Maritima Utama; TO G: PT. Dwipohasta Utama Duta; TO H: PT. Mahardi Sarana Tama; TO I: PT. Adipurusa; TO J: PT. Trirmjlia Barina Perkasa; TO K: PT. Sarana Bandar Nasional; TO L: PT Kharisma Bintang Samudera dan TO M: PT. Hamparan Jasa Segara) ditunrut untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja terminal dan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan sehingga pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan kinerja Pelabuhan Tanjung Priok secara keseluruhan. Adapun materi pembekalan, kata Hambar, merupakan tindak lanjut dari kesepakatan perjanjian antara Manajemen Cabang Pelabuhan Tanjung Priok dengan seluruh PBM/TO selaku pengelola terminal dilingkungan cabang Pelabuhan Tanjung Priok untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh masing-masing pihak yang meliputi: sistem dan prosedur pelayanan kapal dan barang, pemindahan lokasi penumpukan, penerbitan dan pelunasan nota kapal, penerbitan dan pelunasan nota jasa dermaga dan penumpukan serta penanganan barang di terminal, "Diharapkan dengan adanya pembekalan ini seluruh pengelola terminal (PBM/TO) ini, masing-masing pihak antara manajemen Cabang Pelabuhan Tanjung Priok dengan Pengelola Terminal (PBM/TO) akan mengetahui mana yang hak dan kewajiban, disamping tugas dan tanggung jawab bagi masing-masing pihak," tuturnya. Bahkan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan bongkar muat barang di dermaga dan lapangan penumpukan ini, pihak Manajemen Cabang Pelabuhan Tanjung Priok akan menempatkan Petugas Supervisi Operasi di seluruh terminal-terminal yang dikelola oleh PBM-TO. Dimana para petugas Supervisi Operasi ini akan berkoordinasi dengan unit-unit terkait (PBM, Ekspedisi Muatan Kapal Laut, Angkutan dan Gudang Penerima) apabila terjadi kendala dalam kegiatan bongkar muat. (A .HABIB/M.SYAHBANA, Tabloid Maritim No 344 Th VII Edisi 26 April – 2 Mei 2005) Tugas Supervisi Operasi 1. Melaksanakan pengawasan dan pengadilan untuk kelancaran B/ M dan berkordinasi dengan unit -unit terkait melakukan teguran lisan apabila terjadi; a. Kegiatan B/M tidak sesuai target pada RPK/OP, b. Penempatan alat B/M 9shore crane) tidak menggunakan alas pada kaki crane atau menggunakan alas pada kaki crane tetapi tidak memenuhi syarat. c. Kegiatan B/M barang berbahaya tidak dilengkapi ijin B/M barang/bahan berbahaya dari Syah Bandar dan tidak dike-tahui oleh Cabang Pelabuhan Tanjung Priok. 2. Melakukan teguran lisan kepada pihak yang mengakibatkan terjadinya hambatan dalam kegiatan B/M, melakukan kordinasi dengan pihak PBM,EMKL 7 gudang penerima. Apabila terjadi gan-tung saling yang diakibatkan tunggu muatan, tunggu truck atau ketidak siapan gudang penerima. 3. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian kegiatan penum-pukan barang/petikemas di Gudang/Lapangan penumpukan antara lain: Melakukan teguran lisan apabila terjadi; a. Penumpukan barang dilaksanakan di dermaga, apron gudang/lapangan sebelah laut/darat, di bahu jalan atau daerah-daerah lain yang menggangu kelancaran lalulintas. b. Penupukan barang melibihi daya dukung gudang/lapangna menumpuk bahan/barang berbahaya yang memiliki sifat; peledak/radio aktif, mudah menyala, pengoksidir, beracun dan merusak kadar tinggi. c. Melakukan kegitan perbengkelan di gudang/Lapangan penumpukan. 4. Menerbitkan KUB terhadap ketidak sesuaian ukuran barang yang di bongkar/muat/dttumpuk di dermaga/lokasi no To. 5. Apabila teguran tersebut tidak direspon maka Pelaksana Supervisi Oprasi menyampaikan laporan ke posko untuk di buat teguran tertulis kepada pihak-pihak/ unit-unit terkait yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan/ketidak sesuaian dengan persyaratan oprasional. 6. Menghentikan kegiatan penanganan barang (B/M), penumpukan, R/D) apabila kegiatan tersebut dapat menimbulkan bahaya. 7. Melakasanakan kegiatan pengawasan dan pengadilan atas penggunaan fasilitas Pelabuhan yaitu mernbuat Berita Acara kerusakan fasilitas (dermaga, fende, bolder, gudang dan lapangan) apabila terjadi kerusakan atas fasilitas (Bertita Acara tersebut ditandatangani oleh Pelaksana SO, Supervisor Pangkalan, Pihak PBM/ TO atau Pelayaran). 8. Melaksanakan pengawasan terhadap kebersihan dermaga, gudang/lapangan penumpukan serta kelancaran arus lalulintas di dermaga. 9. Membuat laporan B/M (FM.01/01/01/76) per kapal per shift dan diteruskan ke Posko SO untuk membuat laporan realisasi produksi B/M per Pangkalan per hari 9FM.01/01/01/71). 10. Membuat laporan apabila terjadi hal-hal lainnya (kecelakaan, kebakaran atau kejadian lainnya) dilaporkan kepada atasan langsung |
Pengusaha Bongkar Muat Keluhkan Kutipan jasa bongkar muat
Sejumlah pengusaha yang melakukan usaha di lingkungan Pelabuhan Cirebon, mengeluhkan tingginya kutipan jasa bongkar muat yang dikenakan oleh PT Pelindo II. Selain terlalu mahal, menurut seorang sumber "PR" yang enggan disebut namanya, kutipan jasa itu juga tidak sesuai dengan ketentuan.
Menurut sumber itu, keluhan lainnya yakni monopoli yang dilakukan PT Pelindo, khususnya bongkar muat batu bara. "Setiap kegiatan bongkar muat harus melalui PT Pelindo, meski yang mengerjakan bongkar muatnya perusahaan lain. Akhirnya kan kami perusahaan bongkar muat, harus menambah pengeluaran ekstra untuk membayar jasa kepada PT Pelindo," katanya.
Misalnya, untuk kegiatan bongkar muat batu bara, PT Pelindo II mengutip Rp 4.100,00 per ton sebagai kontribusi kepada PT Pelindo sejak tahun 2004. "Alasannya yang Rp 1.500,00 untuk uang penanggulangan debu," katanya.
Sementara, perusahaan bongkar muat (PBM) sebagai pelaksana kegiatan hanya mengantongi keuntungan berkisar antara Rp 3.000,00-Rp 5.000,00 per ton batu bara. "Ini kan jomplang sekali. Hanya karena yang punya wilayah, Pelindo mendapat bagian yang sama dengan pengelola kegiatan usaha," ujarnya.
Sumber "PR" mengaku, kutipan tersebut ditetapkan oleh Pelindo hanya berdasarkan kesepakatan dengan beberapa PBM. Padahal berdasarkan ketentuan, semua tarif pelayanan jasa oleh pelindo harus didasarkan kepada kesepakatan semua pihak.
Menurutnya, persoalan tersebut sebenarnya sudah dilaporkan ke Administratur Pelabuhan (Adpel) sebagai pembina di lingkungan pelabuhan. "Katanya sih soal itu sudah dilaporkan ke Adpel. Tapi saya belum tahu pastinya," katanya.
Sesuai aturan
Sementara itu, Supervisor Hukum dan Pelayanan kepada Pelanggan PT Pelindo II Cirebon M. Sungkowo Aribowo menyangkal tuduhan tersebut. Menurut dia semua yang dilakukan PT Pelindo sudah sesuai aturan yang ada. "Tidak mungkin kami melakukan suatu kebijakan tanpa ada aturan sebagai dasar hukumnya," katanya.
Soal kontribusi sebesar Rp 4.100,00 per ton yang menurut sumber "PR" dikutip sejak tahun 2004, juga disangkal Bowo. Menurutnya, kontribusi sebesar Rp 4.100,00 baru dilakukan sejak awal 2006.
Itu pun, lanjutnya, sebesar Rp 1.500,00 dikembalikan lagi kepada pengguna jasa dalam bentuk layanan penanggulangan debu seperti menyewa mobil tanki untuk menyemprot lingkungan sekitar kegiatan bongkar muat batu bara, supaya debunya tidak beterbangan.
Sedangkan, Ketua DPC Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Cirebon Joppy Ruhupatty, S.I.P. yang dikonfirmasi enggan memberikan keterangan. Joppy hanya menyatakan, persoalan keluhan itu sudah sudah dalam pembahasan antara APBMI dengan PT Pelindo II. (A-92)***
Labels: jasa bongkar muat
Perusahaan Bongkar Muat Terdegradasi
Sedikitnya 23 perusahaan bongkar muat yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, gulung tikar selama tahun 2006. Turunnya volume angkutan kargo diduga kuat sebagai faktor pemicunya.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Jawa Timur TF Sitorus akhir pekan lalu mengatakan, total perusahaan bongkar muat di Tanjung Perak kini tinggal sekitar 119 perusahaan.
Padahal, pada tahun 2005 total penyedia jasa bongkar muat yang beroperasi di pelabuhan terbesar untuk wilayah Indonesia Timur itu tercatat masih ada sedikitnya 142 perusahaan.
Menurut Sitorus, turunnya pangsa pasar bongkar muat barang di Tanjung Perak merupakan penyebab utama tutupnya perusahaan tersebut. Minimnya permintaan jasa (order) bongkar muat yang diterima tidak mampu menutup biaya operasional perusahaan.
Sebuah perusahaan bisa mencapai cashflow yang sehat apabila minimal order bongkar muat yang diterima 400.000 ton dalam satu tahun. Akan tetapi, di Tanjung Perak satu perusahaan ada yang hanya menerima 25.000 ton permintaan bongkar muat selama satu tahun.
Direktur Utama PT Berkas Sarana Inti( sebuah perusahaan bongkar muat) Bambang Sartono mengungkapkan, turunnya pangsa pasar bongkar muat disebabkan oleh turunnya volume arus barang yang melalui Pelabuhan Tanjung Perak menyusul sepinya transaksi perdagangan akibat pengaruh dari krisis ekonomi makro.
Selain itu, banyak para pengguna jasa bongkar muat beralih ke sistem peti kemas karena dianggap lebih efektif, cepat, dan efisien. Minim infrastruktur
APBMI mencatat pada tahun 1997 volume angkutan kargo mencapai 20 juta ton lebih selama satu tahun. Namun, pada tahun 2005 volume arus barang tersebut turun menjadi 13,5 juta ton per tahun. Puncaknya pada tahun 2006 volume arus angkutan kargo tinggal 11 juta ton.
Adapun jenis barang didominasi oleh produk-produk komoditas pertanian dan perkebunan seperti rotan/bambu, bahan makanan, dan barang-barang bahan baku industri seperti besi. Bentuknya bisa padat, log, barang cair, atau curah kering.
Wakil Ketua APBMI Jatim Capt Priyanto menambahkan, persoalan yang dihadapi anggotanya tidak hanya masalah penurunan volume angkutan kargo. Mereka juga terkendala oleh minimnya infrastruktur penunjang yang tersedia di Pelabuhan Tanjung Perak.
Di antaranya, fasilitas jalan akses dari area dermaga menuju ke kompleks pergudangan yang kurang bagus. Masih banyak jalan berlubang dan jalan rusak. Ditambah fasilitas lampu penerangan yang kurang memadai sehingga sering kali menghambat aktivitas bongkar muat, terutama saat malam hari.
"Cincin pengikat jala lambung di dermaga sering hilang, padahal alat itu berfungsi sebagai penahan barang muatan kapal agar tidak jatuh ke laut," katanya.
Priyanto mengaku, sudah berkali-kali melapor ke Pelindo sebagai pengelola pelabuhan agar memperbaiki infrastruktur yang rusak seperti atap gudang penyimpanan barang yang bocor.
Labels: Infrastruktur Penunjang, Minim
Tarif Bongkar Muat Naik Akhir Januari
Tarif bongkar muat dipastikan akan naik sekitar Januari atau Februari. Kepastian naik menyusul turunnya SK Gubernur tentang kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota untuk Surabaya menjadi Rp 655.500 atau 13,5%. Meski demikian, akan naiknya tarif bongkar muat menunggu kesepakatan antara perusahaan bongkar muat yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) dengan pengusaha pelayaran yang tergabung dalam INSA, importir dan eksportir.
Penegasan itu dikemukakan Ketua APBMI, TF Sitorus, ketika dikonfirmasi Bali Post, terkait rencana kenaikan tarif bongkar muat di Surabaya Minggu (11/12) kemarin. Seperti diketahui, pekan lalu Gubernur Jatim, Imam Utomo, menandatangani SK kenaikan UMK Jatim 2006. Untuk daerah Ring I (Surabaya, Gresik, Kab. Mojokerto, Kab. Sidoarjo dan Kab. Pasuruan) kenaikan sebesar 13,5%. Sedangkan untuk Kabupaten/ Kota lain di Jatim, kenaikan rata-rata 19%.
Untu Kota Surabaya besarnya Rp 655.500, Kab Sidoarjo Rp 655.200, Kab Gresik Rp 655.200, Kab Mojokerto Rp 655.200, Kab Pasuruan Rp 655.200. ''Setelah tahu berapa besarnya UMK, APBMI sudah pasti akan menaikkan tarif bongkar muat. Hanya, kenaikan tarif bongkar muat tidak bisa dinaikkan seperti perusahaan, tetapi harus melalui kesepakatan perusahaan terkait,'' katanya.
Saat BBM naik 1 Maret 2005, APBMI ikut menaikkan tarif bongkar muat pada 23 Maret dari Rp 66.000 per peti kemas per box ukuran 20 fit isi menjadi Rp 75.000 hingga sekarang. Namun, saat pemerintah menaikkan kembali harga BBM sejak 1 Oktober lalu operasional perusahaan bongkat muat ikut naik.
Bahkan, kenaikan biaya operasional seperti yang dialami PT Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI) yang mengelola Terminal Berlian Tanjung Perak Surabaya naik hingga 40 persen. Namun, hingga saat ini tarif bongkar muat tetap Rp 75.000 per peti kemas per box ukuran 20 fit isi.
Padahal, kata dia, mulai Januari 2006 mendatang tenaga kerja bongkar muat dan upah buruh sudah harus ikut naik sebesar 13,5 % atau Rp 655.500. ''Jadi, paling lama Akhir Januari atau Februari tarif bongkar muat sudah harus naik. Tentunya didahului kesepakatan,'' ujarnya.
Sejak BBM naik 1 Oktober lalu, sejumlah perusahaan bongkar muat di Tanjung Perak Surabaya menjerit. Sebab, pelaku usaha bongkar muat mengaku biaya operasional mereka naik sekitar 40 persen. Dilain pihak, pengusaha pelayaran juga berteriak karena mereka juga menggunakan BBM saat mengoperasikan kapalnya.
Untuk mencari jalan tengah, pihak APBMI, INSA, GINSI dan organisasi eksportir sudah melakukan pertemuan dua kali. Tetapi, pertemuan yang dilakukan mentok karena saat itu SK kenaikan UKM Jatim 2006 belum ditandatangani Gubernur Jatim.
Labels: Tarif Bongkar Muat Naik
Perusahaan Angkutan Dapat Lakukan Bongkar Muat
BONGKAR muat barang dari dan ke kapal, merupakan kegiatan yang sangat diperlukan dalam pengangkutan barang. Sebagai bagian dari angkutan laut, kegiatan bongkar muat barang menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam sistem angkutan laut. Kelancaran dan kecepatan kapal meninggalkan pelabuhan, sangat tergantung dari kecepatan dan kelancaran kegiatan bongkar muat barang.
Mengingat hubungannya yang demikian erat dengan kegiatan angkutan laut, maka pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang senantiasa mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Adapun pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bongkar muat ini adalah perusahaan angkutan laut, perusahaan yang mengelola pelabuhan, perusahaan bongkar muat, tenaga kerja, pemilik barang dan Pemerintah.
Begitu banyak pihak yang berkepentingan dengan kegiatan bongkar muat barang, hingga kegiatan ini harus mendapat pengaturan yang cukup rinci dari Pemerintah. Pengaturan demikian, sungguh sangat dibutuhkan. Tanpa pengaturan dari pemerintah, kegiatan ini tidak mungkin dapat dilakukan secara sinkron dan optimal.
Pengaturan mengenai kegiatan bongkar muat, mencakup berbagai aspek yang saling berkaitan. Di antaranya tentang: i) perusahaan yang dibolehkan melakukan kegiatan bongkar muat; ii) pedoman tarip bongkar muat; iii) tenaga kerja yang melakukan bongkar muat; iv) produktivitas dan kecepatan bongkar muat.
Perusahaan Bongkar Muat
Kegiatan bongkar muat, tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Ketentuan yang mengatur kegiatan bongkar muat barang ini, baru ditemukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.2 tahun 1969 yang masa berlakunya sudah berakhir tahun 1988.
Dalam PP No. 2 ini dinyatakan, kegiatan bongkar muat barang dilakukan oleh perusahaan bongkar muat (PBM) yang didirikan khusus untuk itu. Dengan begitu, perusahaan angkutan laut yang memiliki dan mengoperasikan kapal, tidak boleh melakukan kegiatan bongkar muat barang.
Tapi, ketentuan dalam PP ini, cukup lama tidak diberlakukan. Dan selama tidak diterapkan ketentuaan itu, kegiatan bongkar muat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut. Sedangkan pelaksanaannya di lapangan, diserahkan pada tenaga kerja bongkar muat yang tersedia di pelabuhan.
Penanganan kegiatan bongkar muat barang, baru diserahkan pada PBM sejak keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 1985. Penyerahan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No.88/305/Phb-85.
Prinsip kegiatan bongkar muat barang harus dilakukan perusahaan bongkar muat khusus, terus berlanjut sampai tahun 1999, kendati PP No.17 tahun 1988 yang mengganti PP No.2 tahun 1969, tidak mengatur hal itu secara jelas. Penerapan prinsip ini didukung oleh Keputusan Menteri Perhubungan No.13 tahun 1988 yang memberi kelonggaran untuk mendirikan PBM.
Penyerahan pelaksanaan bongkar muat pada PBM, pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan spesialisasi kegiatan angkutan laut dan kegiatan penunjang angkutan laut. Dengan adanya spesialisasi tugas dan kegiatan, maka profesionalisme pengelolaan usaha diharapkan akan mengalami peningkatan.
Peningkatan profesionalisme pengelolaan usaha, khususnya di bidang bongkar muat barang, secara teoritis akan meningkatkan kelancaran dan kecepatan bongkar muat di pelabuhan. Dengan lancar dan cepatnya kegiatan bongkar muat, maka masa berlabuh (port days) dapat ditekan serendah mungkin. Begitu pula masa perputaran kembali (turn round time) menjadi lebih cepat.
Tapi, harapan itu tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Sesuai dengan kelonggaran yang diberikan Pemerintah untuk mendirikan PBM, jumlah PBM terus mengalami peningkatan. Dengan banyaknya PBM yang beroperasi di pelabuhan, tingkat profesionalisme pengelolaan usaha, tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan, akibat banyaknya perusahaan, praktik persaingan tarif tidak dapat dihindarkan.
Perusahaan Angkutan Laut
Sesungguhnya, kegiatan bongkar muat barang dapat menjadi salah satu sumber pendapatan perusaahaan angkutan laut. Oleh sebab itu, penyerahan kegiatan bongkar muat barang kepada PBM, mengakibatkan hilangnya sumber pendapatan perusahaan angkutan laut.
Sejalan dengan keterpurukan yang dialami kapal nasional sejak pemberlakuan deregulasi pada 1988, hilangnya pendapatan dari kegiatan bongkar muat, sangat mempengaruhi kinerja perusahaan angkutan laut. Oleh sebab itu, perusahaan angkutan laut meminta kepada Pemerintah untuk memberikan kesempatan kembali untuk melakukan kegiatan bongkar muat barang.
Permintaan perusahaan angkutan laut itu, tentu tidak berlebihan. Undang-undang Pelayaran No.21 tahun 1992, tidak menutup kesempatan bagi perusahaan angkutan laut melakukan kegiatan bongkar muat. Dalam UUP No.21 tahun 1992 dinyatakan, untuk menunjang usaha angkutan laut dapat diselenggarakan kegiatan penunjang angkutan laut, di antaranya kegiatan bongkar muat.
Pemerintah yang prihatin menyaksikan kehidupan kapal-kapal nasional, dengan berbagai pertimbangan mengabulkan permintaan perusahaan angkutan laut. Dalam PP No. 82 tahun 1999 yang menjadi peraturan pelaksana UUP No.21 tahun 1992 ditentukan, perusahaan angkutan laut dalam negeri dan luar negeri dapat melakukan kegiatan bongkar muat.
Selanjutnya dalam penjelasan PP tersebut dinyatakan, kegiatan bongkar muat yang dilakukan perusahaan angkutan laut hanya terbatas untuk melayani kapal milik dan kapal yang dioperasikan secara nyata (charter). Dengan demikian, kegiatan bongkar muat kapal-kapal keagenan dan kapal lain, tetap menjadi porsi PBM.
Namun, ketentuan ini tidak sepenuhnya dapat diwujudkan dalam praktik. Dalam Keputusan Menteri Perhubungan No.33 tahun 2001 ditentukan, kegiatan bongkar muat barang untuk kapal milik dan kapal yang dioperasikan melalui chater, hanya berlaku terhadap barang: i) milik penumpang; ii) barang curah cair yang dimuat atau dibongkar melalui pipa; iii) barang curah kering yang dimuat dan dibongkar melalui conveyor atau sejenisnya; iv) barang yang diangkut dengan kapal Roro.
Perusahaan angkutan laut hanya dibenarkan melakukan bongkar muat semua jenis barang jika di pelabuhan persinggahan tidak ada PBM. Dengan begitu, tidak ada yang dirugikan. (***)
Labels: PELAYARAN
Water Treatment
Water treatment is a process of making water suitable for its application or returning its natural state. Thus, water treatment required before and after its application. The required treatment depends on the application. For example, treatment of greywater (from bath, dish and wash water) differs from the black water (from flush toilets). Composting toilet is not allowed in urban dwelling. Yet, composting toilets are used in a 30,000-square-foot office complex at the Institute of Asian Research, University of British Columbia.
Water treatment involves science, engineering, business, and art. The treatment may include mechanical, physical, biological, and chemical methods. As with any technology, science is the foundation, and engineering makes sure that the technology works as designed. The appearance and application of water is an art.
In terms of business, RGF Environmental, Water Energy Technologies, Aquasana Store, Vitech, Recalyx Industrial SDN BHD and PACE Chemicals ltd are some of many companies that offer various processes for water treatment. Millipore, a Fisher Scientific partner, offers many lines of products to produce ultrapure water, using a combination of active charcoal membranes, and reverse osmosis filter. Internet sites of these companies offer useful information regarding water.
An environmental scientist or consultant matches the service provider, modify if necessary, with the requirement.
- Natural Water includes some discussion on hard and soft water. Softening hard water for boiler, cooler, and domestic application is discussed therein. These treatments prepare water so that it is suitable for the applications.
- Water Biology deals with water and biology. Drinking water is part of making water suitable for living. Thus, this link gives some considerations to drinking water problems.
- There are many different industry types, and waters from various sources are usually treated before and after their applications. Pre-application treatment and wastewater treatment offer a special opportunity or challenge. Only a general consideration will be given to some industrial processes.
- General municipal and domestic wastewater treatment converts used water (waste) into environmentally acceptable water or even drinking water. Every urban centre requires such a facility.
General Wastewater Treatment
Water is a renewable resource. All water treatments involve the removal of solids, bacteria, algae, plants, inorganic compounds, and organic compounds. Removal of solids is usually done by filtration and sediment. Bacteria digestion is an important process to remove harmful pollutants. Converting used water into environmentally acceptable water or even drinking water is wastewater treatmentWater in the Great Lakes Region is an organization dealing with the water resources. Ontario Clean Water Agency (OCWA) is a provincial Crown corporation in business to provide environmentally responsible and cost-efficient water and wastewater services. It currently operates more than 400 facilities for 200 municipalities. This web site provides information on water and water treatment.
In April 1993, 403,000 people in Milwaukee were ill as a result of cryptosporidium contaimination of water due to spring run off. This outbreak caused the more stringent regulations to be implemented in the public dringking water system. The measures were aimed at removing cryptosporidium.
In May 2000, due to torrential downpour surface water got into shallow wells in a small town Walkerton, Ontario, Canada. On May 17, some residents complained of fever, bloody diarrhea and vomiting. This was know as the Walkerton E. Coli Outbreak. Nearly half of the population of the town fell ill, and several people died due to the E. Coli O157:H7 infection. A public inquiry recommended many measures to prevent similar outbreaks. These measures were aimed at eliminating E. Coli.
Sewage Treatment
As a general discussion, let us look at a typical process in sewage treatment. A flow diagram for a general sewage treatment plant from Water Education, Department of Computer Science, University of Exeter, U.K., is shown below:
Sewage is SCREENED to remove large solid chunks, which are disposed in LANDFILL SITE. It flows over to the SETTLEMENT TANK to let the fine particles to settle. The settlement is called the activated SLUDGE. The supernatant is then PERCOLATING FILTERED and/or AERATED. The water can be filtered again, and then disinfected (chlorinated in most cases). When there is no other complication, the water is returned to nature back to the ecological cycle.
The SLUDGE removed from the settlement is composed of living biological material. A portion of it may be returned to the AERATION TANK, but the raw SLUDGE is digested by both microorganism. Anaerobic (without oxygen) and aerobic (with air) bacteria digestions are used. At the digestion stage, carbon dioxide, ammonia, and methane gases are evolved. Volume of the digested sludge is reduced, and it is acceptable as a fertilizer supplement in farming.
Wastewater Treatment
Although the sewage water may be discharged back to the ecological system after AERATED DIGESTION and PERCOLATING FILTRATION, but in some cases, further treatment is required. Some general consideration of water treatment is given below.A rather recent book, Chemistry of Water Treatment by S.D. Faust and O.M. Aly, 2nd Ed. (1998) [TD433 F38 1998], addresses the problem of quality natural and treated water.
The first three chapters discuss the criteria and standards for drinking water quality, organic compounds in waters, taste and order of water. Understandably, the standards change over the years. So are the standards of treated waters. Guidelines are available from government agencies such as Environment Canada which is equivalent to U.S. Public Health Service and the Environment Protection Agency (EPA). We have talked about drinking water in Water Biology.
Next seven chapters deal with the removal of the following:
- organics and inorganics by activated carbon
- particulate matter by coagulation
- particulate matter by filtration and sedimentation
- hardness and other scale-forming substances
- inorganic contaminants
- corrosive substances
- pathogenic (disease producing) bacteria, viruses, and protozoans (microorganisms).
These items cover the chemistry, biology, and physics involved in the treatment of water. Some of these topics have been discussed in chemistry of water, physical properties of water, biology of water, and natural water. Introductions are going to be given to some selected topics below.
Treatment by activated carbon
Treatment by activated carbon is mostly due to adsorption or absorption. When a chemical species is adhered to the surface of a solid, it is an adsorption. When partial chemical bonds are formed between adsorbed species or when the absorbate got into the channels of the solids, we call it absorption. However, these two terms are often used to mean the same, because to distinguish one from type from the other is very difficult.Application of activated charcoal for the removal of undesirable order and taste in drinking water has been recognized at the dawn of civilization. Using bone char and charred vegetation, gravel, and sand for the filtration of water for domestic application has been practised for thousands of years. Active research and production of activated charcoal was accelerated during the two world wars. The use of poison gas prompted the development of masks. They are still in use today.
Charcoal absorbs many substances, ranging from colored organic particulates to inorganic metal ions. Charcoal has been used to remove the colour of raw sugar from various sources.
Charcoal consists of microcrystallites of graphite. The particles are so small in charcoal that they were considered amorphous. The crystal structure of graphite consists of layers of hexagonal networks, stacked on top of each other. Today, making activated carbon is a new and widely varied industry. Other molecules attach themselves to the porous surface and dangling carbons in these microcrystallites.
Carbon containing substances are charred at less than 900 K to produce carbon in the manufacture of activated carbon. However, the carbon is activated at 1200 K using oxidizing agent to selectively oxidize portions of the char to produce pores in the material. Because of the special process to produce used, these materials with high surface to mass ratio, they are called activated carbon rather than activated charcoal. Factors affecting the absorption are particle size, surface area, pore structure, acidity (pH), temperature, and the nature of the material to be absorbed. Usually, adsorption (absorption) equilibria and rate of adsorption must be considered for effective applications.
Coagulation, flucculation and sedimentation
Natural and wastewater containing small particulates. They are suspended in water forming a colloid. These particles carry the same charges, and repulsion prevents them from combining into larger particulates to settle. Thus, some chemical and physical techniques are applied to help them settle. The phenomenon is known as coagulation. A well known method is the addition of electrolyte. Charged particulates combine with ions neutralizing the charges. The neutral particulates combine to form larger particles, and finally settle down.Another method is to use high-molecular-weight material to attract or trap the particulates and settle down together. Such a process is called flocculation. Starch and multiply charged ions are often used.
Historically, dirty water is cleaned by treating with alum, Al2(SO4)3.12 H2O, and lime, Ca(OH)2. These electrolytes cause the pH of the water to change due to the following reactions:
SO4(aq)2- + H2O -> HSO4(aq)- + OH- (causing pH change)
Ca(OH)2 -> Ca(aq)2+ + 2 OH- (causing pH change)
Suspension of iron oxide particulates and humic organic matter in water gives water the yellow muddy appearance. Both iron oxide particulates and organic matter can be removed from coagulation and flocculation. The description given here is oversimplified, and many more techniques have been applied in the treatment of water. Coagulation is a major application of lime in the treatment of wastewater.
Other salts such as iron sulfates Fe2(SO4)3 and FeSO4, chromium sulfate Cr2(SO4)3, and some special polymers are also useful. Other ions such as sodium, chloride, calcium, magnesium, and potassium also affect the coagulation process. So do temperature, pH, and concentration.
Disposal of coagulation sludge is a concern, however.
Sedimentation let the water sit around to let the floculated or coagulated particles to settle out. It works best with relatively dense particles (e.g. silt and minerals), while flotation works better for lighter particles (e.g. algae, color). A settling tank should be big enough so that it takes a long time (ideally 4 hours +) to get through. Inlets and outlets are designed so the water moves slowly in the tank. Long and narrow channels are installed to let the water to snake its way through the tank. The settled particles, sludge, must occasionally be removed from the tanks. The water is next ready to be filtered. Sedimentation is used in pre-treatment and wastewater treatment.
Filtration
Filtration is the process of removing solids from a fluid by passing it through a porous medium. Coarse, medium, and fine porous media have been used depending on the requirement. The filter media are artificial membranes, nets, sand filter, and high technological filter systems. The choice of filters depends on the required filtering speed and the cleanness requirement. The flow required for filtration can be achieved using gravity or pressure. In pressure filtration, one side of the filter medium is at higher pressure than that of the other so that the filter plane has a pressure drop. Some portion of this filter type must be enclosed in a container.The process of removing the clogged portion of the filter bed by reversing the flow through the bed and washing out the solid is called back washing. During this process, the solid must be removed out of the system, but otherwise the filters must be either replaced or taken out of service to be cleaned.
Aqua-Rain manufacture water filters as shown here. This unit consists of four filters. Regarding the filtering system, its techinical info gave the following statement.
AquaSelect of Mississauga has a pitcher water filter system, and its cartridge contains hundreds of high efficiency activated carbon and ion exchange beads, its web site claims. Brita filters is very popular.
Aeration
Bringing air into intimate contact with water for the purpose of exchanging certain components between the two phases is called aeration. Oxygenation is one of the purposes of aeration. Others are removal of volatile organic substances, hydrogen sulfide, ammonia, and volatile organic compounds.A gas or substance dissolved in water may further react with water. Such a reaction is called hydration. Ionic substance dissolve due to hydration, for example:
H2S = H(aq)+ + HS(aq)-
- Diffused aeration - Air bubbles through water.
- Spray aeration - Water is sprayed through air.
- Multiple-tray aeration - Water flows through several trays to mix with air.
- Cascade aeration - Water flows downwards over many steps in the form of thin water falls.
- Air stripping - A combination of multiple tray and cascade technique plus random packed blocks causing water to mix thoroughly with air.
Reverse osmosis water filter system

When a compartment containing a dilute solution is connected to another compartment containing a concentrated solution by a semipermeable membrane, water molecules move from the dilute solution to concentrated solution. This phenomenon is called osmosis. Pig bladders are natural semipermeable membranes. As the water molecules migrate through the semipermeable membrane, water level in the solution will increase until the (osmotic) pressure prevents a net migration of water molecules in one direction. A pressure equivalent to the height difference is called the osmotic pressure. The illustration given on the right is from the PurePro, one of the many companies that manufacture reverse osmosis water filter devices. Millipore also use this technique.
By applying pressure in the higher concentration solution, water molecules migrate from a high concentration solution to a low concentration solution. This method is called reverse osmosis water filter system. The concept of reverse osmosis is illustrated in the diagram here from PurePro.
In this technique, the membrane must be able to tolerate the high pressure, and prevent solute molecules to pass through. Regarding membranes, PurePro made the following statement:
Industrial wastewater Treatment
The Environment Canada's (Atlantic Region) Waste Management and Remediation Section contains links to detailed information on the programs and activities relating to Petroleum and Allied Petroleum Storage Tank Systems, Ocean Disposal, Contaminated Sites, and Hazardous Waste Disposal Advice for the provinces of Newfoundland and Labrador, Nova Scotia, New Brunswick and Prince Edward Island. It also contains links to sites within and outside of Environment Canada with related information.Water and waste treatment in a brewry, distillery, or winery

First of all, for the process involved in a brewry, a proposal called Alcohol Fermentation to Produce Beer gives some details about the brewing process. Brewing equipment is available from CDC Inc.
Water Treatment Related Companies
The listing of these companies is not an endorsement of them. They are listed here for information only.- Cleanwater H2OAustralia company for water in the environment.
- accepta Water and waste water treatment chemicals, test kits, analysis etc, a U.K. Company
- Environmental Expert provides a large list of companies for water technology.
- Machines for Water Systems - a company with addresses in Niagara Falls, N.Y. and Hamilton in Ontario, Canada.
Labels: Water Treatment
As expert in the field of Water treatment, we actively develop improved membrane technologies, new applications and engineering standards. Our objective is to reduce the total cost of ownership and provide you with reliable and robust membrane applications.
Introduction
Industries, utility companies and governments need reliable membrane systems that are not only cost-effective today, but also in future. DHV stands with a firm foot in the quickly developing world of membrane filtration. We have expertise in the whole field of membrane filtration: from design to maintenance and from wastewater treatment to ultra-pure water production. DHV has operating experience with many applications and membrane systems. This expertise guarantees we provide you with the best membrane process fitted to your needs. From simple micro, nano, ultra and hyper filtration, diffusion dialysis up to electrodialyses, bi-polar membranes, liquid membranes, pervaporation and membrane bioreactors, we put the technologies in the right perspective. For consultancy, engineering, turnkey projects or operational lease, you will find that we are your favorite partner.
Some examples of DHV-driven innovations are:
-
AirFlush®, a cost-effective concept applying semi dead-end membrane filtration;
-
Water recovery from industrial and muncipial wastewater by direct nanofiltration;
-
Large- scale membrane bioreactors (MBR);
-
Direct membrane filtration of surface water;
-
Optiflux®, hydraulic optimisation that results in a cost-efficient design and operation;
-
Effective cleaning procedures;
-
Recycling of ion-exchange regenerate;
-
Cost-effective stack design that enables to have full flexibility in future membrane types selection (Nautilus®).
Close fit requires tailor made solution
In 1999, the Beverwijk STP faced a further extension to comply with new requirements for nitrogen removal. Since the plants premises are cramped for space, construction of supplementary aeration volume and sedimentation tanks is not feasible.
DHV has found a cost-effective solution in the conversion of the activated sludge system to a membrane bioreactor. DHV has tested during 3 years a variety of commercially available MBR-systems at industrial scale equipped with as well submerged low-pressure hollow fibre membranes as with tubular membranes or (rotated) plate membranes. The tubular membranes are normally operated as high-pressure systems. At Beverwijk, the tubular membranes are operated in a whole new way as submerged low-pressure membranes in combination with the proven and DHV patented AirFlush® cleaning procedure.
Large MBR-plants
The ongoing research and development of the MBR technology in the Netherlands has led to the realisation of the municipal MBR with a capacity of 755 m3/h at wwtp Varsseveld. For the rendering company Rendac, DHV has upgraded one of the existing biological Carrousel® systems to a membrane bioreactor. After careful evaluation, submerged membranes were selected to separate treated wastewater and activated sludge. DHV supplied the membrane filtration system as part of a turnkey project for the Carrousel® upgrade. The result is Europes largest known membrane bioreactor with a capacity of 140.000 p.e.
Zero-discharge in semiconductor industry
Guided by DHV a team of water and semi-conductor production experts from several European companies have been challenged to design a closed-loop water system for the fab-of-the-future plant. This indeed is a challenge, since wastewater has to be upgraded to ultra-pure water: the highest water quality known with many specifications in the part per trillion-concentration range.
Membrane filtration plays a vital role in this concept. Examples of some applied membrane techniques are hyperfiltration, electro-deionisation, membranebioreactor and electrodialysis.
"One step" Ultra- and Nanofiltration
"One step" nanofiltration is possible thanks to smart use of the AirFlush® concept. Pilot tests showed that surface water or effluent from sewage treatment plants can be treated with NF (or UF) directly, without any pre-treatment, resulting in high quality process water. Due to this compact one step treatment concept, the system outstands systems applying ultrafiltration in combination with spiral wound NF/RO membranes. Tests on direct treatment of surface water show that a stable flux is obtained and fouling can be easily controlled.
If you need more information, please feel free to download some articles and project descriptions or contact us.
You may also complete the Questionnaire and return it to us. Based on your situation we surely will find the most cost-efficient solution.
WASTEWATER TREATMENT Having built 2500 purification plants for urban wastewater, with sufficient capacity to serve populations of between 10,000 and 1,200,000 people, Degrémont possesses unique expertise in the control of pollution in water before it is returned to the environment. Not only does this task require the ability to ensure complete safety 24 hours a day, in compliance with the strictest of standards, but also great operational flexibility, so as to face up to variations in volume linked to the seasonal nature of consumption or extreme weather conditions. |
In addition, in view of the requirements and the specific conditions that govern the installation of wastewater treatment plants in residential areas, it is obviously imperative that these facilities remain compact and that the pollution they produce is controlled. Lastly, Degrémont has demonstrated its ability to design and follow complex work scheduling, in order to guarantee uninterrupted service during modernisation work on old facilities. |
In order to design plants that are suited to their customers' requirements, Degrémont's engineers have a wide range of processes at their disposal: physico-chemical purification, ozonization, suspended or attached growth, reuse and recycling, in particular through the use of the latest Ultrafor™ membrane technology. |
Labels: WASTEWATER TREATMENT
Respon Penelitian Dampak Pembuangan Tailing ke Laut.
Terbentur Pada Penegakan Hukum yang Lemah
Dan Kepedulian Pemerintah Yang Minim
A. PENDAHULUAN
Perdebatan mengenai limbah tailing menjadi bahasan yang kini banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Keluhan masyarakat Teluk Buyat, Minahasa terhadap adanya pencemaran perairan menjadi awal perhatian. Banyak ahli dan beberapa kajian mempersoalkan keamanan sistem pembuangan tailing oleh PT.Newmont Minahasa Raya ke Teluk Buyat tersebut. Dampaknya terhadap perikanan setempat secara jelas dapat tergambarkan. Limbah tailing yang masih mengandung logam berbahaya seperti merkuri, Arsen, dan lainnya juga mengandung resiko kesehatan yang sangat besar.
Saat ini, isu pembuangan limbah tailing1 bukanlah pada pembuktian terjadinya pencemaran, namun lebih pada mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam hal penegakan hukum. Selama ini terlihat respon pemerintah terhadap pengaduan masyarakat masih terbatas pada formalitas dan lips service. Pemerintah tidak menunjukkan inisiatif untuk menempuh proses penegakan hukum yang semestinya. Pemerintah bahkan mensia-siakan proses Tim Verifikasi2 yang seharusnya merupakan satu bentuk proses penyelesaian sengketa yang baik.
Kurangnya pemahaman mengenai pembuangan limbah tailing ke laut merupakan salah satu faktor lain mengapa pembuangan tailing ke laut saat ini masih terus berlangsung. Sejak awal pemerintah tidak memiliki gambaran (studi) soal keamanan
1 Tailing merupakan limbah berbentuk lumpur hasil penggerusan /penghancuran batuan tambang untuk memisahkan emas dan atau logam logam berharga lainnya dari batuan. Pada tailing masih terdapat berbagai jenis logam, termasuk logam berbahaya (Merkuri, Arsen, Mangan, dan lainnya) yang secara lamiah terkandung pada batuan tersebut. Logam ini sebenarnya aman ketika berada di perut bumi,namun berbahaya jika masuk dalam kehidupan manusia.
2 Proses verifikasi adalah respon pemerintah terhadap usulan Walhi untuk melakukan verifikasi di lapangan sesegera mungkin dan kemudian membentuk tim independen. Namun usulan tersebut tidak seluruhnya dipenuhi, pemerintah (Ditjen Pertambangan Umum) menginginkan verifikasi dekstop (terhadap penelitian yang telah dilakukan berbagai pihak) terlebih dahulu, baru kemudian menindaklanjuti rekomendasi yang dikeluarkan para ahli dalam Tim Verifikasi. Proses Verifikasi ini berhenti ditengah jalan tanpa ada inisiatif pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi para ahli independen, yakni investigasi di lapangan. Telah beberapa kali WALHI dan anggota tim ahli mengingatkan pihak Ditjen Pertambangan Umum mengenai rekomendasi ini, namun tidak ada tanggapan sama sekali.
pembuangan tailing ke laut. Alhasil, pembuangan tailing ke laut berlangsung tanpa ada perangkat hukum yang cukup sebagai dasar monitoring dan mengambil tindakan.
B. Perangkat Peraturan Minim Dan Salah Sasaran
Pembuangan tailing terus berlangsung tanpa ada perangkat hukum yang cukup untuk mengambil tindakan maupun sebagai acuan monitoring. Dengan gambaran yang kompleks mengenai keamanan tailing di laut, satu-satunya peraturan yang digunakan untuk mengontrol buangan tailing di laut adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.02/1988 tentang Kualitas Air Laut. Dengan hanya ada satu parameter sebagai alat monitoring dan mengambil tindakan, maka dapat dipastikan bahwa tidak cukup peraturan untuk menjerat pencemaran di laut oleh limbah tailing.
b.1 Tailing sebagai limbah non-B3 menurut PP 18/1999
Melalui Peraturan Pemerintah No.18/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun), limbah batuan tambang (tailing) dinyatakan sebagai sebagai limbah non-B3. Dengan ketetapan tersebut, maka pengujian kadar toksik pada tailing tidak dilakukan pada tailing sebelum dibuang ke laut, melainkan pada effluen-nya. Dengan demikian yang diukur selama ini adalah parameter lingkungan dimana efflen tailing ditempatkan, yakni kualitas air laut.
Kadar toksisitas tailing sebagai effluen tentu menghasilkan angka terukur yang berbeda dari kadar toksik tailing sebenarnya. Jika tailing ditempatkan di alam, maka daya toksisitas akan terbagi pada air dan pada tailing tersebut sebagai sedimen. Dengan demikian daya toksik (toksisitas) yang terukur pada air laut jauh lebih rendah seandainya yang diukur adalah daya toksik (toksisitas) pada tailing sebelum di lepas ke alam.
Proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) ini menimbulkan banyak kecaman dan hanya menguntungkan pihak perusahaan tambang. PP ini telah salah sasaran dalam menentukan parameter pengujian potensi pencemaran di laut. Kriteria tailing sebagai limbah non-B3 pada PP ini merupakan gambaran kuatnya pengaruh perusahaan tambang dalam penyusunan peraturan lingkungan di Indonesia.
b.2 Perangkat Uji Toksik tailing di laut
Selama ini PT.NMR mendapatkan keuntungan dari kekurangan perangkat hukum tersebut. PT.Newmont Minahasa Raya tidak pernah menampilkan laporan konsentrasi logam berbahaya pada sedimen (tailing) dan organisme benthos di laut pada setiap laporan monitoring rutin perusahaan (RKL/RPL. Pemerintah pun tidak mewajibkan perusahaan untuk melakukan /menampilkan indikator tersebut. Ini memungkinkan kegiatan pencemaran laut tidak tersentuh (ditindak) oleh karena lemahnya peraturan lingkungan Indonesia.
C. Prediksi Dampak dan Telah Terjadi
C.1 Penyebaran Tailing dan Daya Toksik
Pembuangan tailing ke laut (STD) menjadi kekhawatiran karena pipa tailing diletakkan pada perairan yang dangkal dan subur sehingga tailing yang keluar dari pipa dapat dipermainkan oleh arus, pasang surut dan turbulence.Tidak benar bahwa pembuangan tailing berada di bawah lapisan thermoklin dan akan menetap stabil di dasar laut. Hal penting lain yang tidak diperhitungkan adalah peristiwa Up-welling, yakni naiknya massa air yang ada di dasar laut ke permukaan. Up-welling dipastikan akan mengangkat limbah tailing ke permukaan dan menyebar.
Melihat gambaran diatas maka dapat tergambarkan dampak yang bakal terjadi apabila tailing ditempatkan pada dasar laut di kedalaman tersebut. Demikian pula sebaliknya, dapat melihat hubungan antara penyakit yang diderita masyarakat saat ini dengan sumber pencemar di laut.
C.2 Mine Closure
Kedua faktor tersebut di atas, penyebaran dan daya toksik tailing, membuat rehabilitasi perairan paska tambang (mine closure) menjadi sulit dan mahal untuk dilakukan. Jika pemerintah menyadari kesulitan yang bakal dihadapi untuk merehabilitasi perairan maka tentunya akan berpikir panjang sebelum membiarkan pembuangan tailing ke laut (STD) berlangsung. Hingga saat ini pemerintah tidak memiliki gambaran apapun menyangkut rehabilitasi perairan paska operasi PT.Newmont Minahasa Raya sekitar tahun 2003. Tampaknya kekurangtahuan dan kekurangpedulian pada dampak lingkungan dan sosial tampak menjadi latar belakang mengapa pemerintah tidak begitu khawatir terhadap resiko yang akan dihadapi.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebagai respon berbagai keluhan penyakit selama 3 tahun terakhir. Penyakit mulai dirasakan sejak 1998 hingga kini ada beberapa bentuk keluhan penyakit yang baru dirasakan sejak awal tahun 2001. Beberapa indikasi/ gejala penyakit yang sering ditemui adalah (1) kategori Gangguan sakit kepala 3 ; (2) Gangguan fungsi berfikir4 ; (3) Gangguan alat indera5 ; (4) Gangguan
3 antara lain: sakit kepala pada bagian belakang, sakit kepala sebahagian (mulai mata kiri hingga bagian urat sebelah kiri), kepala terasa lembek, kepala terasa sangat sakit hingga rambut juga sakit bila disentuh, tidak mampu berbicara, dan badan terasa gemetaran,
4 antara lain : sering 'gagap' , sering terkejut, sering lupa, kehilangan kesadaran (kolaps)
5 antara lain: penglihatan kabur, pendengaran terganggu, mata sering bengkak, mata seperti akan tercabut, sering tidak bisa mendengar, leher dan tenggorokan terasa sakit dan sulit menelan, mata kiri sering mengeluarkan air, telinga berdengung, perasaan mata seperti mau keluar.
fungsi pencernaan6 ; (5) Gangguan fungsi tubuh7. (Hasil wawancara kesehatan oleh tim dokter Desember 2000-Januari 2001). Pemeriksaan sampel darah juga dilakukan sebagai respon atas berbagai gejala penyakit. Berbagai gejala penyakit tersebut diduga berhubungan dengan pencemaran perairan oleh limbah tailing8.
Dampak tailing pada perikanan setempat terlihat dari hasil survei WALHI (2000). Kerusakan terumbu karang dan hilangnya sejumlah spesies tertentu terjadi akibat tumpukan limbah tailing. Melalui survei tersebut diketahui wilayah tangkap ikan masyarakat semakin jauh sejak 3 tahun terakhir. Penelitian 'Kajian Kelayakan Pembuangan Limbah Tailing ke Laut di Perairan teluk Buyat 'oleh PSL Universitas Sam Ratulangi (1999) menunjukkan adanya pencemaran logam berat yang (merkuri, arsen dan sianida) pada sedimen dan beberapa spesies ikan.
D. Perdebatan Sumber Pencemar di Teluk Buyat
PT.Newmont selalu menyudutkan pertambangan rakyat di Teluk Totok sebagai sumber pencemaran di teluk Buyat9. Walaupun PT.NMR mengklaim tidak menggunakan merkuri dalam proses pemisahaan emasnya, namun tailing PT.NMR
6 antara lain: sakit perut sebelah kiri, susah buang air besar, sakit perut seperti ditusuk-tusuk, muncul benjolan-benjolan daging di kepala, benjolan di saluran tenggorokan dan kaki, air kencing seperti lendir (pada pria).
7 antara lain: badan terasa panas dingin, mengalami beberapa kali pingsan seketika, tidak bisa berjalan, pergelangan terasa sakit, tangan dan kaki terasa kesemutan, tulang terasa sakit.
8 Hasil analisa sampel darah yang selesai pada tanggal 26 Oktober 2000 menunjukkan: dari dua puluh sampel didapatkan kadar rata-rata Hg 5,98 ± 2,25 mg/l (2,6 - 10,0 mg/l) dan kadar rata-rata As 19,50 ± 4,34 mg/l (10,10 - 27,10 mg/l). Dibandingkan dengan nilai toleransi acuan (reference range acuan yang digunakan Specialty Laboratories, Michigan, Hg kurang dari 5,0 mg/l ; As kurang dari 11,0 mg/l)-- kadar rata-rata Hg dan As dua puluh orang ini telah melampaui batas toleransi dalam darah. Sebanyak 13 orang responden menunjukkan kadar Hg darah dan 19 orang responden menunjukkan kadar As darah lebih dari nilai toleransi acuan. Penelitian kadar Hg dan As darah dilakukan berdasarkan data dari non-random sampling. Hasil itu menunjukkan kemungkinan 13 dari 20 orang (65 persen) dan 19 dari 20 orang (95 persen) penduduk yang diperiksa terkena kontaminasi Hg dan As yang berpotensi membahayakan kesehatan.
9 Antara Pertambangan Rakyat di sungai Totok dan Teluk Buyat dipisahkan oleh Tanjung Ratatok. Sementara dari tampilan biogeografis, kondisi arus di Teluk Totok bersifat lemah. Demikian pula pola arus lokal di Teluk Buyat digambarkan mengarah ke luar (dokuemen ANDAL) dan cenderung mengarah ke arah pantai Timur Laut (menuju barat Teluk Totok). Kalau dilihat dari gambaran besar pola arus Perairan Nusantara, hal yang sama juga ditunjukkan dimana arus sepanjang pantai antara Pulau Lembeh (100 km Timur Laut tapak lokasi) dan Tanjung Flesko (45 km ke arah barat Laut) dilaporkan mengalir dengan tetap ke arah Timur Laut sepanjang tahun (sumber: ANDAL NMR). Ini menunjukkan bahwa gradien pola dan arah arus, baik arus lokal maupun pola arus Nusantara, mengalir sejajar pantai mengarah ke Teluk Totok dan bukan sebaliknya. Seandainya sedimen dari Sungai Totok bergeser ke luar dari perairan Teluk Totok maka akan menuju Laut Sulawesi dan dibilas oleh air laut.
mengandung konsentrasi Merkuri, Arsen, Cadmium dan logam berat lainnya (terlihat dari laporan-RKL/RPL). Arsen dan Merkuri tersebut memang terkandung dalam batuan secara alami. Kedua logam berat ini merupakan unsur yang cukup tinggi konsentrasinya pada limbah tailing PT.NMR. Jika dilihat dari besarnya kapasitas limbah tailing PT.NMR, maka dapat diperkirakan besarnya merkuri yang dilepaskan di laut. Baik pertambangan rakyat di Teluk Totok dan pertambangan PT. NMR masing-masing berkontribusi pada pencemaran laut di lokasi masing-masing.
E. Proses penegakan hukum
Menteri Negara Lingkungan Hidup /Kepala Bapedal telah menyatakan bahwa sistem pembuangan limbah tailing PT.Newmont Minahasa Raya adalah illegal. Tidak banyak informasi yang bisa didapat dari pemerintah mengapa pembuangan tailing tersebut hingga sekarang masih berlangsung. Yang terjadi saat ini adalah proses penegakan hukum yang berjalan di tempat dan berputar pada perdebatan yang sama. Setiap kajian yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu tidak ditindaklanjuti untuk pada aspek yang lebih luas lagi melainkan munculnya bantahan perusahaan (PT.Newmont Minahasa Raya) terhadap bagian-bagian kajian tersebut. Pengalihan perhatian masyarakat atau upaya pembentukan opini publik menjadi strategi perusahaan. Di lain pihak, masyarakat terus mempertanyakan keadaan yang sebenarnya. Di sini peran pemerintah seharusnya secara tegas dijalani.
Isu menyangkut pembuangan tailing di laut bukanlah pada pembuktian terjadinya pencemaran, melainkan mempertanyakan peran kunci pemerintah sebagai penegak hukum. Adanya kajian ilmiah terdahulu dan kemudian analisa sampel darah masyarakat Teluk Buyat sebenarnya dapat dijadikan sebagai indikasi awal terjadinya pencemaran. Namun, pemerintah tidak menerapkan tugasnya menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principal) dan menjalankan proses penegakan hukum yang semestinya ditempuh. Ini akan memberi dampak yang lebih luas dan fatal. Malapetaka Minahasa seharusnya dapat dihindari lebih dini
KEPUTUSAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
NOMOR: KEP. 10/MEN/2002
TENTANG
PEDOMAN UMUM PERENCANAAN PENGELOLAAN PESISIR TERPADU
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,
Menimbang :
a. bahwa wilayah pesisir memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat rentan terhadap berbagai perubahan akibat pembangunan, sehingga guna pengembangan dan pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir perlu diatur secara terencana, terpadu dan berkelanjutan;
b. bahwa untuk itu perlu adanya Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan ;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ;
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah;
7. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 141 Tahun 2000;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom;
10. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundangundangan di lingkungan Dep. Kelautan dan Perikanan;
11. Keputusan Presiden Nomor Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
12. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
13. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan, sebagaimana terakhir telah diubah dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.30/MEN/2001;
MEMUTUSKAN
Menetapkan | : | KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PEDOMAN UMUM PERENCANAAN PENGELOLAAN PESISIR TERPADU |
PERTAMA | : | Memberlakukan Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu sebagaimana tersebut dalam Lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Keputusan ini. |
KEDUA | : | Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu sebagaimana dimaksud diktum PERTAMA digunakan sebagai acuan bagi pejabat, aparat, dan/atau masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan pesisir yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. |
KETIGA | : | Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. |
| | DITETAPKAN DI : |
Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
NARMOKO PRASMADJI
Lampiran : | Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan |
| Nomor: KEP.10/MEN/2002 |
| Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu |
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pesisir merupakan wilayah peralihan dan interaksi antara ekosistem darat dan laut. Wilayah ini sangat kaya akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Sumberdaya pesisir terdiri dari sumberdaya hayati dan nir-hayati, dimana unsur hayati terdiri atas ikan, mangrove, terumbu karang,
Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang terus meningkat.
Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai pihak terkait (stakeholders) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait tersebut menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun pihak lain, khususnya di wilayah pesisir yang berkembang pesat. Perbedaan fokus rencana tersebut memicu kompetisi pemanfaatan dan tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Konflik ini semakin berkembang akibat lemahnya kemampuan Pemerintah dalam mengkoordinasikan berbagai perencanaan sektor dan swasta. Bila konflik ini berlangsung terus akan mengurangi efektivitas pengelolaannya sehingga sumberdaya pesisirnya mengalami degradasi bio-fisik.
Degradasi biofisik sumberdaya pesisir dibeberapa tempat, telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, antara lain: deforestasi hutan mangrove; rusaknya terumbu karang; merosotnya kualitas taman bawah laut laut; tangkap ikan lebih (overfishing); terancamnya berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong; meningkatnya laju pencemaran; berkembangnya erosi pantai; meluasnya sedimentasi serta intrusi air laut.
Lahirnya otonomi daerah di wilayah pesisir melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah memberi kewenangan bagi Pemerintah Provinsi untuk mengelola dan mengkoordinasikan pemanfaatan sumberdaya pesisir sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut. Pasal 10 UU NO. 22/1999 memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten/
Guna mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih perencanaan, konflik pengelolaan dan degradasi bio-fisik, serta memberi standarisasi Pengelolaan Pesisir Terpadu sesuai dengan amanat butir 2.d PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka perlu disusun suatu konsep berupa Pedoman Umum tentang Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management/ICM). Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT) merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan: berbagai perencanaan sektoral, berbagai tingkat pemerintahan, ekosistem darat dan laut, serta sains dan manajemen. Pendekatan tersebut ditempuh dimulai dengan keterpaduan perencanaan yang menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, sosial budaya dan konservasi sumberdaya pesisir. Karakteristik utama PPT adalah mengintegrasikan elemen-elemen pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian) yang terpisah menjadi suatu sistem yang terpadu dan serasi.
1.2. Maksud dan Tujuan
Pedoman umum ini dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan Masyarakat dalam (i) mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, dunia usaha, masyarakat dengan perencanaan pembangunan daerah sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, dan (ii) mengurangi terjadinya tumpang tindih perencanaan, konflik pemanfaatan dan konflik yurisdiksi serta degradasi bio-fisik.
Tujuan Pedoman Umum PPT ini adalah untuk:
1. Memberikan panduan bagi Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota, dunia usaha dan masyarakat untuk menyusun perencanaan pengelolaan pesisir terpadu di daerahnya.
2. Memfasilitasi pihak terkait mengikuti proses dan tahapan perencanaan pesisir terpadu sesuai dengan karakteristik sosial, ekonomi dan kelembagaan daerahnya.
3. Menstandarisasi mekanisme penyusunan perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT) sehingga dapat mengurangi konflik dan laju kerusakan sumberdaya pesisir.
1.3. Sasaran
Sasaran Pedoman Umum ini adalah:
1. Terintegrasinya perencanaan dari berbagai pihak terkait dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir melalui proses penyusunan Pengelolaan Pesisir Terpadu.
2. Terumuskannya kebijakan pembangunan pesisir dan skala prioritas dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir sesuai dengan karakteristik pesisir daerah.
3. Tersusunnya dokumen perencanaan pesisir terpadu disetiap Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang mempunyai wilayah pesisir.
1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman umum ini meliputi tinjauan pengelolaan pesisir terpadu dan rencana strategis, rencana pemintakatan, rencana pengelolaan dan rencana aksi.
II. KETENTUAN UMUM
Dalam pedoman umum ini yang dimaksud dengan :
Budidaya laut (mariculture) adalah cara pemeliharaan binatang dan tumbuhan laut seperti berbagai jenis ikan laut, udang-udangan, kerang-kerangan dan berbagai jenis rumput laut, di suatu tempat dan dengan menggunakan metoda tertentu.
Daya dukung adalah batas ambang banyaknya kehidupan, atau kegiatan ekonomis, yang dapat didukung oleh suatu lingkungan; sering berarti jumlah tertentu individu dari suatu species yang dapat didukung oleh suatu habitat atau dalam pengelolaan sumberdaya, berarti batas-batas yang wajar dari pemukiman manusia dan/atau penggunaan sumberdaya.
DAS (Daerah Aliran Sungai) adalah suatu kawasan yang dibatasi oleh dua punggung gunung dimana curah hujan yang jatuh ke daerah tersebut mengalir melalui satu saluran tertentu yaitu sungai atau aliran air lainnya.
Degradasi adalah kerusakan, penurunan kualitas atau penurunan daya dukung lingkungan akibat dari aktivitas/kegiatan manusia (anthropogenic) ataupun alami.
Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme lainnya serta proses yang menghubungkan mereka, suatu sistem fungsi dan interaksi yang terdiri dari organisme hidup dan lingkungannya, seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang, ekosistem
Estuari adalah daerah litoral yang agak tertutup (teluk) di pantai, tempat sungai bermuara dan air tawar dari sungai bercampur dengan air asin dari laut, biasanya berkaitan dengan pertemuan peraian sungai dengan perairan laut.
Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah dengan daratan pantai yang dipakai untuk menetapkan titik terluar di pantai wilayah laut.
Habitat adalah suatu tempat atau lingkungan hidup yang paling cocok atau sesuai bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan atau hewan, yang biasanya tipe bentuk kehidupan utama.
Jasa lingkungan adalah jasa yang dihasilkan melalui pemanfataan dengan tidak mengekstrat sumberdaya pesisir, tetapi memanfaatkan fungsinya untuk tempat rekreasi dan pariwisata, sebagai media transportasi, sumber energi gelombang dan lain-lain.
Kawasan adalah suatu daerah yang memiliki karakteristik fisik, biologi, sosial, ekonomi dan budaya yang dibentuk oleh kriteria tertentu untuk mengidentifikasinya.
Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi, untuk dipertahankan keberadaannya.
Kekeruhan adalah berkurangnya kejernihan air karena adanya benda atau partikel yang melayang atau banyaknya bahan tersuspensi air dengan ukuran yang halus.
Konservasi laut adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati laut yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya, serta merehabilitasi sumberdaya alam laut yang rusak.
Lamun adalah sejenis ilalang laut yang tumbuh di dasar laut berpasir yang tidak begitu dalam dan sinar matahari masih dapat menembus ke dasar sehingga memungkinkan ilalang tersebut berfotosintesa.
Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur atau berpasir, seperti pohon api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora spp). Nutrien adalah setiap bahan yang diasimilasi oleh organisme hidup untuk pertahanan tubuh atau meningkatkan pertumbuhan.
Pantai berbatu adalah pantai yang mempunyai tebing pantai (cliff), biasanya dicirikan dengan dinding pantai terjal yang langsung berhubungan dengan laut. Jenis pantai tebing dapat ditemukan dalam dua tipe: tebing pantai dengan material lepas yang gampang hancur atau runtuh, dan tebing karang yang umumnya keras dan tidak mudah hancur.
Pantai berpasir adalah pantai yang material penyusunnya terdiri dari pasir bercampur batu, yang umumnya berasal dari daratan dibawa oleh aliran sungai ataupun yang berasal dari hulu daratan. Material yang menyusun pantai ini dapat juga berasal dari berbagai jenis biota laut seperti terumbu karang yang ada di daerah pantai itu sendiri.
Pasang surut adalah
Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Negara Republik
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, sesuai dengan UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah.
Pemintakatan (Zonasi) adalah sebagai salah satu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang, untuk menetapkan batas-batas fungsional suatu peruntukan (kawasan budidaya dan lindung) sesuai dengan potensi sumberdaya, daya dukung dan proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam sistem tersebut.
Penataan ruang laut adalah proses pengalokasian dan perencanaan ruang perairan laut, pemanfaatan ruang laut, dan pengendalian pemanfaatan ruang laut.
Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan
Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT) adalah suatu proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan jasa lingkungan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan horizontal dan vertikal, ekosistem darat dan laut, sains dan manajemen sehingga pengelolaan sumberdaya tersebut berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Penegakan hukum adalah proses pencegahan atau penindakan terhadap orang dan/atau badan hukum yang melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengelolaan berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya pesisir yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia pada saat ini tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa datang.
Pengendalian pencemaran adalah setiap upaya atau kegiatan pencegahan dan/atau penanggulangan dan/atau pemulihan pencemaran.
Peran serta masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dimana masyarakat ikut ambil bagian dan menentukan dalam mengembangkan, mengurus dan mengubah rencana secara komprehensif.
Perairan pesisir adalah perairan laut teritorial yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, lagoon, dan daerah lainnya.
Pulau-pulau kecil/gugusan pulau adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya, baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdaya.
Rehabilitasi adalah proses pengembalikan ekosistem atau populasi yang telah rusak ke kondisi yang tidak rusak, yang mungkin berbeda dari kondisi semula.
Rencana Pengelolaan (management plan) adalah suatu kegiatan normatif yang boleh atau tidak boleh dilakukan di suatu zona, dimulai dari pengumpulan data dan informasi secara sistematik yang digunakan untuk pengembangan strategi ke bentuk aksi yang spesifik untuk menghasilkan keluaran yang diharapkan.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Salinitas adalah derajat konsentrasi garam yang terlarut dalam air. Ditentukan dengan cara pengukuran densitas larutan dengan salonometer, dengan cara titrasi atau pengukuran konduktifitas elektrik larutan.
Sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai.
Sumberdaya binaan atau buatan adalah unsur-unsur fisik dan non-fisik yang terdapat di wilayah pesisir, yang diproses berdasarkan hasil rekayasa manusia. Sumberdaya binaan/buatan dapat berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan pelabuhan, kawasan industri, dan kawasan permukiman.
Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir. Sumberdaya alam terdiri atas sumberdaya hayati dan nirhayati. Sumberdaya hayati, antara lain ikan, rumput laut, padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu karang, biota perairan serta ekosistemnya, sedang unsur nir-hayati terdiri dari lahan pesisir, permukaan air, sumberdaya di airnya, dan di dasar laut seperti minyak dan gas, pasir, timah, dan mineral lainnya.
Terumbu buatan adalah habitat buatan yang dibangun di laut dengan maksud memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat memikat jenis-jenis organisme laut untuk hidup dan menetap; biasanya terbuat dari timbunan bahan-bahan, seperti bekas ban mobil, cor-coran semen/beton, bangkai kerangka kapal, badan mobil dan sebagainya.
Terumbu karang adalah jenis hewan laut berukuran kecil yang disebut polip, hidupnya menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni yang terakumulasi menjadi terumbu.
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang terbatas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional.
Wilayah pesisir (coastal zone) adalah wilayah peralihan ekosistem darat dan laut yang saling mempengaruhi dimana kearah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu untuk kabupaten/kota dan kearah darat batas administrasi kabupaten/kota. Wilayah laut adalah ruang laut yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) adalah zona maritim yang berdekatan dengan atau yang membentang 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur wilayah laut, dan kewenangan diberikan secara international. Negara pantai mempunyai hak berdaulat secara eksklusif untuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam di zona tersebut.
III. TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN PESISIR TERPADU
3.1. Pendahuluan
Bab ini menguraikan prinsip-prinsip umum, manfaat, tahapan, dan unsur-unsur perencanaan PPT. Prinsip-prinsip umum menguraikan mengenai kaidah keterpaduan perencanaan, desentralisasi pengelolaan, pembangunan berkelanjutan dan keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Manfaat Pengelolaan Pesisir Terpadu menjelaskan keuntungan langsung maupun manfaat tidak langsung yang dapat diperoleh apabila menerapkannya secara konsisten. Tahapan pengelolaan pesisir terpadu menguraikan secara terinci proses penyusunan dokumen PPT mulai tahap inisiasi sampai adopsi PPT secara formal. Unsur-unsur perencanaan menjelaskan peranan dan hirarki perencanaan dari empat unsur utama kerangka kerja PPT.
3.2. Prinsip Dasar (Azas) Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu
Prinsip dasar (azas) pengelolaan pesisir terpadu meliputi: i.) Keterpaduan; ii.) desentralisasi pengelolaan; iii.) Pembangunan berkelanjutan; iv.) Keterbukaan dan peranserta masyarakat dan v.) Kepastian hukum, dengan uraian sebagai berikut:
3.2.1. Keterpaduan
Keterpaduan Perencanaan Sektor Secara Horisontal
Keterpaduan perencanaan horisontal, memadukan perencanaan dari berbagai sektor, seperti sektor pertanian dan sektor konservasi yang berada di hulu, sektor perikanan, sektor pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri maritim, sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan sektor pengembangan kota, yang berada dalam satu tingkat pemerintahan yaitu: kabupaten/kota, propinsi, atau pemerintah pusat.
Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal
Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi Keterpaduan kebijakan dan perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi, sampai Nasional.
Keterpaduan Ekosistem Darat dengan Laut.
Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan kombinasi pendekatan batas ekologis misalnya daerah aliran sungai (DAS), dan wilayah administratif Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan pertanian dan industri perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.
Keterpaduan Sains dengan Manajemen
Pengelolaan Pesisir Terpadu perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang valid untuk memberikan berbagai alternatif dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi, karakteristik sosial-ekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungan setempat.
Keterpaduan antar Negara
Pengelolaan pesisir di wilayah perbatasan dengan negara tetangga perlu diintegrasikan kebijakan dan perencanaan pemanfaatan sumberdaya pesisir masing-masing negara tersebut. Keterpaduan kebijakan ataupun perencanaan antar negara antara lain mengendalikan faktorfaktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir yang bersifat lintas negara, seperti di pesisir antar Pulau Batam dengan Singapura.
3.2.2. Desentralisasi Pengelolaan
Sejalan dengan otonomi daerah, maka kewenangan pengelolaan pesisir telah didevolusikan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 10 UU NO. 22/1999. Urusan pemerintahan yang didevolusikan tersebut meliputi bidang eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, tata ruang dan administrasi serta penegakan hukum di laut. Untuk itu perlu diperkuat kemampuan kelembagaan perencanaannya untuk mengembangkan perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir di daerah.
3.2.3. Pembangunan Berkelanjutan
Tujuan utama dari pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memanfaatkannya sumberdaya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya pesisir di dalam memenuhi kebutuhan baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Untuk itu, laju pemanfaatan sumberdaya pesisir harus dilakukan kurang atau sama dengan laju regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi untuk menemukan substitusi sumberdaya nirhayati di pesisir. Dalam hal ketidakmampuan manusia mengantisipasi dampak lingkungan di pesisir akibat berbagai aktivitas, maka setiap pemanfaatan harus dilakukan dengan hati-hati (precaunary principles), sambil mengantisipasi dampak negatifnya.
3.2.4. Keterbukaan dan Peranserta Masyarakat
Dengan adanya keterbukaan di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memahami bahwasannya perencanaan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah pada dasarnya untuk kepentingan masyarakat; selain itu memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan serta dalam menyusun perencanaan, melaksanakan, dan turut serta melakukan pemantauan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaannya.
Keterbukaan Pemerintah dalam menginformasikan rumusan kebijakan dan rencana kegiatan sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang merupakan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi di dalam menyampaikan gagasan, persepsi, keberatannya, usulan perubahan ataupun gagasan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir.
Keterbukaan tersebut, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menambah wawasan di dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Pemerintah. Sehingga kebijakan atau kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah dapat mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi yang diakibatkan oleh penetapan kebijakan itu sendiri. Oleh sebab itu konsultasi publik yang melibatkan stakeholder utama sejak proses perencanaan, pelaksanaan sampai tahap pengendalian adalah sangat penting.
3.2.5. Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Masyarakat perlu mengetahui proses perumusan peraturan perundang-undangan mulai dari tahap inisiasi sampai disyahkan oleh lembaga legislatif. Misalnya bagaimana, kapan dan untuk apa undang-undang tersebut diterapkan. Masyarakat juga perlu mengetahui isi dari perundang-undangan tersebut, misalnya objek dan lingkup pengaturan serta dampak pengaturan tersebut dalam kehidupan mereka.
Kepastian hukum sangat penting untuk menentukan siapa yang mempunyai akses, hak memiliki, dan memanfaatkan sumberdaya pesisir. Pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut dilindungi oleh negara dan diakui oleh stakeholders lainnya. Sehingga setiap orang atau kelompok dapat mengelola pesisir secara terencana dan memiliki rasa kepemilikan (stewardship) yang menjadi nilai dasar pelestarian tersebut. Kepastian hukum dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan pada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir tanpa intervensi oleh pihak penguasa atau pengguna sumberdaya dari daerah lain. Bagi dunia usaha, kepastian hukum memberikan jaminan keamanan investasinya dalam jangka panjang serta mengurangi resiko berusaha. Sedangkan bagi Pemda, kepastian hukum dapat menjamin konsistensi dan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.
3.3. Kelembagaan
Untuk melaksanakan penyusunan Pengelolaan Pesisir Terpadu, maka diperlukan kelembagaan tersendiri yang berperan membantu instansi perencana yang ada seperti Bappeda provinsi atau kabupaten/kota. Kelembagaan ini bersifat lintas sector dan tidak permanen (ad hoc) yang dibentuk selama proses penyusunan dokumen Perencanaan PPT.
Pelaksanaan dan pengendalian Program PPT-nya akan dikoordinasikan Bappeda bersama Dinas Perikanan dan Kelautan serta instansi teknis atau unit pelaksana teknis di daerah. Lembaga adhoc ini terdiri dari tiga kelompok: i.) Tim Pembina/Tim Pengarah Provinsi atau Kabupaten/Kota; ii.) Tim Teknis Provinsi atau Kabupaten/Kota; dan iii.) Kelompok Kerja (Pokja) Perencanaan PPT. Tim Pembina terdiri dari pimpinan dari instansi terkait, lembaga penelitian atau UPT yang berfungsi untuk mengambil keputusan terhadap perencanaan serta alokasi sumberdaya darui instansinya. Tim Teknis merupakan perwakilan staf senior yang mempunyai posisi untuk mengambil keputusan di instansinya, untuk meformulasikan draft Perencanaan PPT sebelum diajukan ke Tim Pembina. Dalam Tim Teknis ini dapat ditunjuk pimpinan LSM atau Dunia Usaha yang mempunyai perhatian dan komitmen terhadap pengelolaan pesisir. Kelompok kerja terdiri dari staf dari masing-masing instansi terkait, LSM dan Dunia Usaha serta pakar atau ahli dari perguruan tinggi yang berperan dalam menyusun dokumen perencanaan sehari-hari.
3.4. Manfaat
Manfaat Program PPT dapat diperoleh berbagai tingkat pemerintahan mulai dari tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, serta Desa, baik secara bersamaan atau terpisah. Pelaksanaan program PPT yang konsisten sesuai dengan tujuan nasional dan daerah, akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang ikut berperan serta. Pelestarian atau rehabilitasi terumbu karang bisa meningkatkan ketersediaan sumberdaya ikan terutama yang bernilai ekonomis penting, serta mempunyai nilai tambah terhadap jasa lingkungannya seperti tempat lokasi wisata bahari.
Besarnya manfaat PPT tergantung pada pandangan, persepsi, penilaian dan tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir.
a. Keberlanjutan sumberdaya pesisir, seperti sumberdaya ikan, mangrove, terumbu karang,
b. Menghindari pencemaran dan melindungi kesehatan masyarakat.
c. Meningkatkan manfaat ekonomi yang diperoleh dari jasa lingkungan laut (pariwisata, energi non-konvensional, dan industri maritim).
d. Mengembangkan bio-teknologi sumberdaya pesisir untuk produk farmasi, kosmetika, soaculent, dan sebagainya.
e. Mengembangkan sistem perekonomian yang berbasis pada masyarakat.
f. Mengembangkan kearifan lokal bagi kelestarian ekosistem pesisir.
3.5. Tahapan
Pengelolaan Pesisir Terpadu terdiri dari enam tahap meliputi: i.) tahap persiapan, ii.) tahap inisiasi; iii.) tahap pengembangan; iv.) tahap sertifikasi; v.) tahap implementasi; serta vi.) tahap pelembagaan (Gambar 3.1). Tahap persiapan meliputi penyiapan mekanisme pengelolaan proyek, rencana kerja dan penganggaran, alokasi personil, fasilitas bekerja dan pendanaan, pembentukan tim perencana dan pelatihan staf.
Tahap inisiasi meliputi identifikasi permasalahan dan penetapan prioritas penanganan, valuasi nilai lingkungan, penggalangan konsensus, pelaksanaan kampanye kepedulian masyarakat, penyusunan strategi pesisir, dan pembangunan sistem informasi terpadu.
Tahap pengembangan mencakup pengumpulan data khususnya data sosial, ekonomi, kelembagaan, biofisik dan teknologi dan penyusunan profil lingkungan pesisir, identifikasi pemilikan dan pengusahaan sumberdaya pesisir, penyusunan rencana strategis pengelolaan pesisir terpadu, pembuatan pemintakatan , penyusunan rencana pengelolaan dan rencana aksi, penataan kelembagaan, analisis ekonomi proyek, dan peningkatan peranserta masyarakat.
Tahap sertifikasi meliputi mekanisme hukum, persetujuan kepala daerah mengenai PPT, penerangan ke masyarakat mengenai PPT daerah dan mengakomodir tanggapan, penaguan Rencana PPT untuk disertifikasi instansi yang berwenang, pengesahan perda atas PPT yang telah disertifikasi, serta mekanisme alokasi pembiayaan.
Tahap implementasi meliputi mekanisme koordinasi dan pelaksanaan program PPT, pengawasan dan penegakan hukum, klarifikasi pemilikan dan pengusahaan sumberdaya pesisir, penataan perizinan, riset dan pengembangan, pemberdayaan masyarakat, pengembangan mata pencaharian alternatif, pen gelolaan berbasis masyarakat, pendidikan dan penyadaran masyarakat.
Tahap pelembagaan meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi, revisi strategi dan rencana aksi, dan penyempurnaan rencana PPT dan pemantapan kelembagaan untuk siklus kegiatan PPT tahap berikutnya.
Dengan dilaluinya tahapan tersebut, maka Pengelolaan Pesisir Terpadu dapat dilakukan secara terencana, dan terakomodasikannya berbagai kepentingan-kepentingan sehingga secara keseluruhan akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang berperan tanpa mengorbankan keberlanjutan sumberdaya pesisir.
Gambar 3.1. Tahapan Pengelolaan Pesisir Terpadu
3.6. Unsur-unsur Perencanaan
Unsur-unsur utama Pengelolaan Pesisir Terpadu terdiri dari (i) rencana strategis; (ii) rencana pemintakatan ; (iii) rencana pengelolaan dan (iv) rencana aksi. Kerangka kerja PPT dapat digambarkan sebagai piramida hierarki yang terdiri dari empat unsur utama dengan masingmasing unsur mempunyai peran khusus (Gambar 3.2), yaitu :
1. Rencana Strategis (Strategic Plan) berperan dalam menentukan visi/wawasan dan misi serta tujuan dan sasaran berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, serta penetapan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan;
2. Rencana Pemintakatan (Zonasi) berperan dalam pengalokasian ruang, memilah kegiatan yang sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis di ruang lain dan pengendalian pemanfaatan ruang laut sesuai dengan tata cara yang ditetapkan;
3. Rencana Pengelolaan (Management Plan) berperan untuk menuntun pengelolaan sumberdaya alam sesuai dengan skala prioritas maupun dalam pemanfaatan sumberdaya sesuai karakteristik suatu wilayah;
4. Rencana Aksi (Action Plan) berperan dalam menuntun penetapan tindakan berkaitan dengan pelaksanaan proyek sebagai upaya dalam mewujudkan rencana pengelolaan.
Di dalam Pedum ini, Renstra PPT merupakan landasan bagi pengintegrasian pelaksanaan rencana pengelolaan dari masing-masing sektor, dunia usaha, pemerintah daerah dan masyarakat.
Rencana Strategis
Pengelolan Pesisir Terpadu
Rencana
Zonasi
Rencana
Pengelolaan
Rencana
Aksi
Gambar 3.2. Kerangka Kerja Pengelolaan Pesisir Terpadu
Gambar 3.2. menjelaskan hubungan antar unsur PPT tersebut berbentuk hierarki piramida,
yaitu unsur yang di bawahnya merupakan landasan bagi unsur yang di atasnya. Perpaduan
unsur-unsur tersebut merupakan dasar yang komprehensif dan konsisten untuk alokasi,
sumberdaya dan ruang pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya pesisir yang dikelola oleh
Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat.
Dalam konteks pengelolaan terpadu, suatu Rencana Aksi (Action Plan), merupakan panduan praktis, disusun mengacu pada Rencana Pengelolaan (Management Plan). Rencana Pengelolaan disusun berdasarkan Rencana Pemintakatan (Zonation Plan) yang diprioritaskan berdasarkan kebijakan perencanaan strategis. Sebagai contoh, pada zona yang telah ditetapkan prioritas peruntukannya, maka pembangunan prasarana pendukung atau kegiatankegiatan lainnya harus mempunyai konsistensi dan sinergis dengan kegiatan yang ada.
Kegiatan yang tidak sinergis harus ditolak atau dipindah, agar tidak saling merugikan.
Memberikan
sumbangan
pada sasaran
nasional
dan aspirasi
masyarakat
Mencerminkan
perhatian/
kebutuhan daerah
Memberikan efek
spasial terhadap
kebijakan
Menuntun dan
memprioritaskan
Menuntun dan
memprioritaskan
Memberikan kontribusi pada
kebijakan kawasan/ sumberdaya/
kegiatan
Memberi arahan pada formulasi, pengendalian
dan bantuan dalam penyusunan prioritas
pembiayaan
Secara progresif memberikan sumbangan pada
pencapaian wawasan
Menberikan efek terhadap
Mengidentifikasi dan
menyusun prioritas
Pengendalian rinci
Dukungan dan
Kontribusi dalam
identifikasi kebutuhan
RENCANA AKSI
RENCANA
PENGELOLAAN
RENCANA
PEMINTAKATAN
RENCANA STRATEGIS PPT DAERAH
Gambar 3.3. Manfaat Praktis Rencana Strategis PPT
IV. RENCANA STRATEGIS (STRATEGIC PLAN)
4.1. Pendahuluan
Bab ini menjabarkan mengenai mekanisme penyusunan rencana strategis pengelolaan pesisir terpadu. Rencana strategis pengelolaan ini berisi tujuan; pendekatan; isi rencana strategis; proses penyusunan rencana strategis; dan masa berlaku rencana strategis.
4.2. Tujuan Rencana Strategis
1. Untuk menyusun visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah disepakati bersama dari segenap pihak terkait, dan memberikan landasan yang konsisten bagi Penyusunan Rencana Pemintakatan (zonasi), Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi di suatu Daerah.
2. Untuk mengidentifikasi tujuan, sasaran dan indikator kinerja (performance indicators) sehingga bisa diukur tingkat keberhasilan pengelolaan pesisir dalam mencapai out come dan out put.
3. Untuk menyusun suatu standar perencanaan yang konsisten, sinergis dan terpadu bagi pengelolaan pesisir, dan alat pengendalian pembangunan di wilayah pesisir bagi aparat Daerah, masyarakat setempat, dunia usaha.
4. Untuk memfasilitasi Pemerintah Daerah dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan pesisir di daerah propinsi, daerah kabupaten/kota dan nasional yang relevan, sebagaimana tercantum dalam Propeda dan Repelita Nasional/Propenas.
4.3. Pendekatan
Pendekatan koordinatif yang bersifat kewilayahan yang dalam pelaksanaannya mengandung unsur-unsur yang bersifat akomodatif, partisipatif, protektif dan antisipatif.
4.4. Isi Rencana Strategis
Dokumen Renstra PPT sebaiknya singkat tetapi padat, memuat data sumberdaya pesisir seminimal mungkin tetapi memberikan informasi yang berguna. Dokumen utama berisikan sekitar 25 sampai 30 halaman. Data sumberdaya dan peta yang lebih lengkap, hasil proses konsultasi yang demokratis, terbuka dan intensif, dan lainnya dapat disajikan dalam bentuk dokumen pendukung (lampiran). Renstra hendaknya berorientasi pada pencapaian tujuan, dan sedapat mungkin mengurangi pemuatan kegiatan menyimpang atau utopis yang justru dapat Pedoman Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu menurunkan kemampuan para pengelola (yang menggunakan dokumen renstra) untuk mengelola sumberdaya pesisir secara integratif, adaptif, responsif dan kreatif.
Untuk membuat konsistensi perencanaan secara nasional, dokumen Renstra Pengelolaan Pesisir Terpadu setiap daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang dituliskan secara sistematis dan berisikan unsur-unsur, seperti;
i. Kata Pengantar
ii. Pendahuluan
iii. Profil Pesisir Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota)
iv. Visi Pembangunan Wilayah Pesisir
v. Tujuan dan sasaran
vi. Strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran
vii. Proses Implementasi
viii. Prosedur Pengkajian Ulang, Pemantauan dan Evaluasi
ix. Informasi lanjutan.
Rincian dari setiap bab (bagian) di atas dapat berbeda antara satu Propinsi atau Kabupaten/Kota dengan lainnya, bergantung pada kondisi biogeofisik, ekonomi, sosial dan budaya serta faktor kelembagaan dan teknologi dari Propinsi atau Kabupaten/Kota bersangkutan serta skala prioritas pembangunan daerah.
Adapun uraian dari isi rencana strategis tersebut adalah :
i. Kata Pengantar
Bagian ini memberikan kesempatan kepada Kepala Daerah untuk memperkenalkan Renstra PPT Daerahnya. Tanda tangan Kepala Daerah mengisyaratkan pentingnya Renstra PPT dan mempertegas komitmen jajaran instansinya untuk melaksanakan Renstra. Bagian ini maksimum berisi satu halaman.
ii. Pendahuluan
Bagian ini memuat latar belakang perlunya disusun Renstra Propinsi/Kabupaten/Kota, seperti konteks global, nasional dan daerah, serta harapan manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.
iii. Profil Wilayah Pesisir Propinsi
Bagian ini harus m emuat secara tegas seberapa jauh batas wilayah pesisir ke arah laut dan kearah darat, yang digambarkan dalam sebuah peta. Dalam hal ini dapat mengacu pada UU NO. 22/1999 batasan wilayah pesisir propinsi ke arah laut sejauh 12 mil laut dari garis pantai (coastline), dan ke arah darat bisa menggunakan batas ekologi DAS hulu jika berada dalam Pedoman Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu satu kabupaten/kota atau batas administrasi wilayah desa pantai/kecamatan tergantung pada kesepakatan daerah dan isu pengelolaan pesisir yang ditangani.
iv. Visi Pembangunan Pesisir Terpadu
Visi adalah suatu pernyataan umum yang mengungkapkan keinginan atau harapan semua pihak yang terkait (stakeholders) tentang masa depan pemanfaatan sumberdaya pesisir suatu daerah bagi kepentingan bersama. Harapan ini harus mencerminkan tujuan pembangunan nasional (GBHN dan Propenas) dan tujuan pembangunan daerah (Pola Dasar dan Propeda).
Visi juga harus mengantisipasi perubahan atau dinamika pembangunan yang terjadi baik pada tahun sekarang maupun masa depan di tatanan (level) daerah, nasional, maupun global. Pernyataan visi tersebut ditulis berdasarkan konsensus semua stakeholders dan ditulis dengan bahasa yang jelas, lugas, dan singkat. Penyusunan visi akan lebih efektif bila dilakukan dengan cara musyawarah, curah pendapat (brainstorming), diskusi fokus group (focus group discussion), rapat desa atau forum pertemuan interaktif lainnya.
v. Tujuan
Mengingat visi adalah merupakan harapan masyarakat tentang masa depan sumberdaya pesisir yang dinyatakan secara sangat ringkas, maka harapan tersebut perlu dijabarkan secara lebih rinci dalam bentuk empat kategori tujuan, yaitu:
(a) Tujuan Ekologi
(b) Tujuan Ekonomi
(c) Tujuan Sosial Budaya
(d) Tujuan Kelembagaan
Tujuan ekologi lebih menitik beratkan pada pelestarian dan konservasi sumberdaya pesisir.
Tujuan ekonomi lebih difokuskan pada eksploitasi sumberdaya pesisir untuk menghasilkan komoditi yang dapat dipasarkan. Kepentingan ekonomi ini sering lebih kuat untuk mengeksploitasi daripada mengkonservasi. Tujuan sosial-budaya lebih difokuskan pada revitalisasi nilai-nilai budaya masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya dan nilai-nilai masyarakat terhadap sumberdaya tersebut. Tujuan kelembagaan lebih difokuskan pada aturan-aturan pengelolaan (management rules) dalam meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir serta institusi yang yang melaksanakannya.
Keempat tujuan tersebut pada umumnya ada dalam setiap kegiatan pengelolaan pesisir, hanya saja bobot penekanannya berbeda-beda.
Tujuan tersebut harus sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional dan daerah, khususnya yang berkaitan pemanfaatan sumberdaya pesisir, guna mewujudkan visi yang telah disepakati bersama oleh segenap stakeholders.
Pengelompokan tujuan pengelolaan pesisir terpadu menjadi empat kategori mengisyaratkan, bahwa perumusan tujuan didasarkan atas permasalahan dan isu utama yang ada saat ini maupun kecenderungan yang diperkirakan akan muncul dikemudian hari. Pemeringkatan (ranking) dari masing-masing kategori tujuan tersebut disesuaikan dengan bobot dalam bentuk persen (%) yang disepakai stakeholders di daerah, misalnya untuk suatu daerah pertambangan lepas pantai, bobot tujuan ekonomi lebih besar persentasenya dibandingkan
tujuan konservasi, sosial budaya, dan kelembagaan. Sedang untuk daerah wisata bahari, bobot tujuan konservasi menduduki ranking yang lebih tinggi dari tujuan ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan.
Dalam penetapan tujuan berdasarkan prioritas, maka kegiatan pelaksanaannya harus saling terkait dengan tujuan lainnya dan tidak secara parsial dalam pelaksanaannya, tetapi harus sinergi dengan tujuan lainnya sehingga terdapat suatu integritas dalam pengelolaan pesisir.
vi. Sasaran dan Strategi
Dokumen Renstra PPT berperan dalam memberikan suatu kerangka kerja atau pedoman dalam penyusunan strategi dan jenis-jenis kegiatan yang harus diimplementasikan oleh para pengelola atau pengguna sumberdaya pesisir guna mencapai visi bersama, tujuan, dan sasaran pengelolaan sumberdaya pesisir. Perlu diperhatikan bahwa peran Renstra bukan untuk menuntun para pengelola di dalam menyusun jenis-jenis kegiatan secara rinci, akan tetapi Renstra berperan mengarahkan para pengelola apa yang seharusnya dicapai melalui penyusunan rencana strategis dan selanjutnya menjabarkan Renstra menjadi rencana pemintakatan, rencana pengelolaan, rencana aksi.
Dari setiap tujuan yang ditetapkan perlu disusun sejumlah sasaran guna mencapai visi dan tujuan dimaksud. Sasaran adalah suatu pernyataan yang spesifik, sedapat mungkin bersifat kuantitatif dan terukur, tentang cara dan upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Sasaran juga mencerminkan hasil yang diharapkan melalui strategi yang dikembangkan guna mencapai tujuan dimaksud.
Seperti halnya pada visi dan tujuan, sasaran juga akan berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya, tergantung pada isu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan skala prioritas pembangunan dari suatu propinsi yang diidentifikasi selama proses penyusunan Renstra.
Struktur standar tentang penyusunan komponen-komponen Renstra secara sistematis disajikan pada Tabel 4.1. Struktur ini menguraikan komponen utama Renstra yang terdiri dari visi, tujuan, sasaran, dan strategi. Untuk memantapkan penyusunan Renstra tersebut, perlu digunakan analisis SWOT (strenght, weakness, opportunity, threat) terhadap kondisi dan karakteristik wilayah pesisir sebagaimana diuraikan dalam profil wilayah pesisir.
Berdasarkan analisis SWOT dirumuskan sejumlah strategi guna mencapai sasaran dimaksud. Dengan perkataan lain strategi adalah suatu pendekatan spesifik untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Secara umum strategi ini dapat dikelompokan antara lain strategi pengelolaan berkelanjutan, proteksi, konservasi, rehabilitasi, pemanfaatan berwawasan lingkungan, dan komunikasi.
Tabel 4.1. Standar penulisan dan hubungan antar komponen Renstra.
KOMPONEN | ISI |
A. Visi | Memberikan landasan pembangunan masa depan yang diinginkan |
B. Tujuan | • Suatu pernyataan umum berisikan tentang kondisi atau hasil yang diinginkan oleh pihak yang terkait. • Tujuan sebaiknya dikelompokkan menjadi empat katagori: ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan. • Setiap kategori boleh lebih dari satu tujuan. |
C. Sasaran | • Suatu pernyataan yang lebih spesifik untuk mencapai tujuan • Pernyataan sasaran mewakili pendirian dari instansi pengambil keputusan mengenai suatu isu/permasalahan yang akan ditangani. • Suatu sasaran tidak boleh bertentangan dengan visi dan tujuan. • Sasaran harus konsisten dengan kebijakan pembangunan nasional dan daerah. • Analisis SWOT pada tahap ini harus dilakukan. • Indikator keberhasilan disusun untuk mengukur keberhasilan strategi dan program dalam mencapai sasaran. • Untuk setiap tujuan dapat dirumuskan satu atau lebih sasaran. |
D. Strategi | • Pendekatan spesifik untuk mencapai sasaran yang ditetapkan. • Setiap strategi harus dilengkapi tiga hal, yaitu: (1) instansi penanggung jawab; (2) prioritas: (3) jangka waktu. • Perlu ditentukan lembaga yang harus terlibat dalam pelaksanaan strategi dan program, dan ditetapkan instansi koordinator yang dapat menjamin pelaksanan rencana strategi. • Skala prioritas perlu ditetapkan untuk mengimplementasikan setiap strategi selama masa berlakunya Renstra. |
vii. Proses Implementasi
Proses implementasi mencakup perumusan visi, tujuan, dan sasaran serta penyusunan Renstra secara keseluruhan (Gambar 4.1). Gambar ini menguraikan posisi Renstra dalam proses perencanaan dan pembangunan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota dan Nasional. Gambar ini menerangkan bagaimana Renstra PPT digunakan dan oleh siapa, serta langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan Renstra. Dalam bagan ini dijelaskan proses tindak lanjut dari Renstra yakni untuk menyusun rencana yang lebih spesifik, meliputi Rencana Pemintakatan (zonasi), Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi. Untuk menentukan langkah-langkah pelaksanaan perlu dibuatkan matrik yang memuat: (i) strategi yang diusulkan, (ii) instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan setiap strategi, (iii) skala prioritas pelaksanaan strategi dan (iv) jadwal pelaksanaan strategi, (v) tingkat keberhasilan.
viii. Prosedur Pengkajian Ulang Pemantauan dan Evaluasi
Pengkajian ulang, pemantauan dan evaluasi atas dokumen PPT perlu dilakukan secara berkesinambungan. Antisipasi terhadap isu-isu pengelolaan pesisir dilakukan dengan merumuskan perencanaan yang berorientasi masa depan serta adaptif terhadap perkembangan yang baru. Sehingga strategi-strategi yang telah diformulasikan tidak ketinggalan tetapi adaptif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, strategi dalam renstra perlu dikaji ulang dan dimodifikasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, pemantauan kinerja rencana-rencana yang telah dibuat merupakan sesuatu yang dapat dijadikan dasar peningkatan efektivitas evaluasi pengelolaan. Pengkajian ulang dapat dilakukan oleh lembaga ad-hoc seperti Tim Teknis atau Kelompok Kerja Pengelolaan Pesisir Terpadu (Pokja PPT) yang melaporkan secara berkala (jangka pendek, menengah) kaji ulang mengenai pelaksanan kebijakan. Prosedur dan jadwal pengkajian ulang dan evaluasi serta mekanisme peran serta masyarakat harus dirumuskan.
Dalam upaya untuk menghasilkan proses yang efisien dan efektif, maka setiap sasaran yang ada dalam Renstra hendaknya memiliki indikator kinerja (performance indicators). Indikator tersebut dikembangkan untuk mengukur kesuksesan, efisiensi, dan efektifitas penerapan strategi dari Renstra. Evaluasi hasil atau nilai indikator kinerja ini akan memungkinkan untuk merevisi rencana dan menyesuaikan strategi yang diperlukan dalam rangka menghadapi perubahan yang terjadi. Proses pemantauan dan evaluasi berguna untuk menyempurnakan pelaksanaan kegiatan dan penentuan apakah sasaran perencanaan dapat dicapai.
ix. Informasi Lanjutan
Renstra PPT merupakan dokumen publik dan diharapkan tersebar luas ke semua pihak yang terkait. Bila dibutuhkan informasi atau penjelasan lebih lanjut tentang isi dari Renstra ini, maka pengguna atau pemanfaat dianjurkan untuk menghubungi instansi atau administratur penanggung jawab penyusunan Renstra PPT. Alamat lengkap dan terinci dari Sekretariat Tim
PPT di instansi tersebut atau Tim Pokja yang bertanggungjawab untuk penyusunan Renstra
diinformasikan untuk memudahkan komunikasi.
PELAKSANAAN TINJAUAN DAN PENGESAHAN PENYUSUNAN
Pemantauan dan Tinjauan
Rencana Strategis PPT
Penyebarluasan & Pelaksanaan
Rencana Strategis PPT
Pengesahan Tim Pembina dan
Kepala Daerah serta DPRD
Penyiapan Konsep Akhir
Rencana Strategis PPT
Tinjauan Konsep Renstra
Tingkat Nasional
Tinjauan Konsep Renstra
Tingkat Daerah
Penyiapan Konsep
Rencana Strategis PPT
Konsultasi dengan masyarakat,
dunia usaha dan instansi terkait
Pertemuan Tim Teknis - Pokja
PPT Provinsi/Kabupaten/Kota
Gambar 4.1. Tahapan Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir Terpadu
4.5. Proses Penyusunan Rencana Strategis
Proses penyusunan Renstra PPT secara garis besar diperlihatkan dalam Gambar 4.1. Tiap tahapan dari proses ini dijelaskan lebih lanjut. Garis utuh menunjukkan alur dari tiap tahapan, sedangkan garis putus-putus menunjukkan umpan balik dari tiap tahapan. Tahapan tersebut terdiri dari pertemuan awal tim teknis, konsultasi publik, penyusunan konsep dasar, tinjauan konsep strategi, revisi konsep strategi, persetujuan tim, penyebarluasan dan implementasi, pemantauan, serta tinjauan dan revisi.
Pertemuan Awal Tim Teknis - Pokja PPT Propinsi/Kabupaten/Kota menandai dimulainya proses perencanaan strategis dan dilakukan di tahap awal penyusunan Renstra. Pedoman Umum ini harus sudah berada ditangan Tim Teknis paling lambat dua minggu sebelum pertemuan untuk persiapan dan pembekalan dalam pertemuan. Tim Teknis nantinya dalam pertemuan tersebut harus menyusun:
(a) Daftar prioritas masalah yang perlu diperhitungkan dalam strategi Program Pembangunan Daerah. Daftar ini harus didasarkan pada tinjauan terhadap isu-isu pengelolaan pesisir yang aktual dan potensial di masa datang.
(b) Daftar instansi, kelompok dan perorangan terkait yang diketahui mempunyai kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir di daerah bersangkutan. Daftar ini harus dibuat dalam suatu format.
(c) Rincian semua kebijakan dan kegiatan pengelolaan pesisir yang menjadi tanggung jawab masing-masing instansi terkait.
Tim penyusun atau pakar perencanaan PPT mempresentasikan kerangka kerja penyusunan Perencanaan Pesisir Terpadu dan Petunjuk Teknisnya. Selanjutnya penanggung jawab pelaksanaan menjelaskan ketersediaan sumberdaya (pembiayaan, personil, dan fasilitas) dan kurun waktu yang tersedia untuk penyusunan Renstra PPT Daerah. Setiap anggota Tim Teknis yang mewakili instansinya harus mempresentasikan materi-materi yang telah mereka persiapkan. Organisasi non-pemerintah menguraikan berbagai aspirasi yang berkembang dari masyarakat atau LSM lainnya. Materi ini akan menjadi dokumen penting bagi lembaga perencanaan daerah yang bertanggungjawab dalam pengelolaan pesisir.
Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) dan Sekretariat merupakan bagian akhir dari pertemuan ini yaitu membentuk suatu Kelompok Kerja yang anggotanya 3-5 orang. Pokja ini harus bertindak sebagai tim inti dalam penyusunan draft Renstra PPT Daerah. Pokja harus didukung oleh sekretariat dalam mengumpulkan informasi, mengatur pertemuan dan penyiapan konsep Renstra PPT Daerah.
Pedoman Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu
Konsultasi Awal Unsur Terkait Tingkat Propinsi
Setelah pertemuan awal Tim Teknis, Pokja membuat risalah pertemuan awal termasuk materi presentasi anggota Tim Teknis. Ringkasan ini disusun dalam tiga bagian, yaitu:
(a) Kumpulan daftar pihak yang berkepentingan (stakeholders) di tingkat Daerah,
(b) Kondisi sumberdaya pesisir dan kecenderungan pemanfaatannya, dan
(c) Daftar prioritas isu pengelolaan pesisir.
Informasi diatas akan digunakan untuk merencanakan serangkaian konsultasi dengan unsur terkait di tiap Kabupaten/Kota yang mempunyai wilayah pesisir. Tim Pokja memutuskan berapa kali konsultasi yang diperlukan, metode apa yang diterapkan (pertemuan,
(a) Visi atau pandangan mereka tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
di tingkat Propinsi; dan
(b) Perhatian mereka tentang isu-isu, dampak lingkungan, serta konflik pemanfaatan dan
konflik kewenangan yang terjadi saat ini atau yang akan datang.
Hasil konsultasi ini akan dikumpulkan oleh Sekretariat dan dilaporkan kepada Pokja.
Penyusunan Konsep Rencana Strategis PPT
Berdasarkan pertemuan konsultasi awal Tim Teknis dengan unsur terkait, Pokja didukung
oleh sekretariat dan konsultan/pakar menyiapkan Konsep Rencana Strategis PPT Daerah.
Konsep Renstra PPT harus didistribusikan kepada semua anggota Tim Teknis untuk
dipelajari selama kurang lebih 1-2 minggu sebelum diselenggarakan pertemuan khusus Tim
Teknis. Dalam pertemuan ini segala bentuk perubahan/revisi harus didiskusikan untuk
mencapai kata sepakat tentang konsep Renstra yang akan dibahas pada proses selanjutnya.
Tinjauan Tingkat Daerah
Konsep Strategis akan disampaikan dan ditinjau dalam tingkat Daerah yang pelaksanaannya
dapat dilakukan melalui dua alternatif, yaitu :
(a) Mengirimkan salinan konsep tersebut kepada semua pihak terkait, guna memperoleh
komentar (melalui fax, email atau
(b) Melampirkan konsep tersebut dalam undangan konsultasi publik yang diumumkan
kepada masyarakat. Bila memungkinkan, konsultasi tersebut dilakukan di beberapa
lokasi dalam satu Daerah tergantung pada kemampuan yang ada. Pertemuan dikoordinir
oleh Sekretaris Tim Teknis PPT bekerjasama dengan BAPPEDA Provinsi atau
Kabupaten/Kota. Setiap pertemuan akan dipresentasikan secara singkat konsep strategi
oleh anggota Pokja, dilanjutkan dengan diskusi dan pemberian tanggapan.
Pedoman Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu
25
Semua tanggapan yang diperoleh akan dikumpulkan Sekretariat dan risalahnya disajikan pada
pertemuan Tim Teknis berikutnya. Beberapa tanggapan barangkali menghendaki revisi
konsep Renstra tersebut sebelum pertemuan Tim Teknis berikutnya
Tinjauan Tingkat Nasional
Pada saat yang bersamaan dengan tinjauan strategi di daerah, salinan konsep Renstra juga
harus dikirim ke Ditjen P3K-DKP (Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Departemen Kelautan dan Perikanan) untuk didistribusikan ke instansi pusat terkait seperti
Depdagri, Bappenas, LIPI, Bakosurtanal, BPPT, Depkimpraswil dan internal DKP.
Setelah tinjauan konsep strategis di Daerah, Pokja selanjutnya menghadiri pertemuan tinjauan
di Pusat yang dihadiri oleh wakil dari instansi pusat dan LSM. Dalam pertemuan ini, instansi
dan LSM ini harus menyajikan tanggapan resmi tentang konsep strategis dari tiap Daerah.
Setelah pertemuan tinjauan tingkat pusat, Instansi Penanggung Jawab menyatakan bahwa
Renstra Daerah sejalan dengan kebijakan nasional. Mekanisme ini merupakan cikal bakal
proses sertifikasi program Pengelolaan Pesisir Terpadu.
Revisi Konsep Strategis
Setelah konsultasi tingkat Pusat, Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dan telah dilakukan
revisi seperlunya, Pokja akan mengkoordinir penyiapan konsep akhir Strategis. Konsep akhir
ini akan mengakomodir segala tanggapan yang diberikan oleh peninjau dan kemudian dicetak
sebaik mungkin. Konsep Renstra yang telah direvisi secara resmi dipresentasikan dalam rapat
terpadu antara semua Tim Teknis Propinsi/Kabupaten/Kota dengan para pimpinan instansi
perencana. Setelah presentasi, semua peserta diminta membuat tanggapan atau saran akhir
yang berkaitan dengan Renstra. Tanggapan yang relevan dapat digunakan untuk membuat
perubahan sebelum konsep Renstra difinalkan dan diserahkan kepada Tim Pembina.
Persetujuan Tim Pembina Daerah dan Kepala Daerah
Konsep final Renstra dikirim kepada semua anggota Tim Pembina sekurang-kurangnya dua
minggu sebelum pertemuan khusus Tim Pembina. Dalam pertemuan ini, Pokja secara resmi
menyajikan Renstra PPT Daerah dan menjelaskan kepada Tim Pembina proses yang telah
ditempuh dalam penyusunan Renstra tersebut. Pertemuan ini adalah kesempatan penting
untuk menjelaskan implikasi dari Renstra bagi kepentingan instansi terkait dan stakeholders
utama. Setelah penyajian konsep final Renstra, diminta pengesahan konsep tersebut dari Tim
Pembina dalam bentuk "Surat Rekomendasi" kepada Kepala Daerah.
Dalam dua minggu setelah pertemuan Tim Pembina dan Pokja, Ketua Tim Pembina harus
mempersiapkan pertemuan dengan Kepala Daerah. Dalam pertemuan ini akan disampaikan
Konsep Akhir Renstra (disertai Rekomendasi dari Tim Pembina) untuk mendapatkan
Pedoman Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu
26
pengesahan/keputusan dan tandatangan Kepala Daerah.
lampiran dokumen PPT yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
dimaksud.
Penyebarluasan dan Implementasi
Setelah terbitnya
disebarluaskan secara resmi. Penyebarluasan dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
(a) Kepala Daerah dan/atau instansi yang berwenang menyampaikan dokumen Renstra
secara resmi kepada publik, dalam suatu acara khusus atau pertemuan lainnya.
(b) Tim Pokja melakukan suatu jumpa pers yang menjelaskan tujuan utama dari Renstra
dan merinci beberapa salinan yang dibuat.
(c) Menyampaikan salinan strategi ini melalui pos kepada semua pihak yang terkait.
Salinan tersebut harus dikirim kepada semua instansi terkait di Daerah Propinsi atau
Kabupaten/Kota yang terlibat selama masa penyiapan konsep ini.
Penyebarluasan Renstra PPT tersebut akan dibatasi oleh ketersediaan asupan (input) yang ada
(pembiayaan, personil dan fasilitas). Namun, segala usaha harus dilakukan untuk memastikan
agar semua pihak yang berkepentingan dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir mengetahui
adanya Renstra tersebut dan bagaimana cara mendapatkan salinannya. Lembaga perencanaan
daerah harus menyiapkan salinan Renstra PPT Daerah yang cukup sebagai persediaan untuk
dibagikan kepada pihak yang memerlukannya (LSM, investor, lembaga pendidikan) dan
mengiklankannya melalui
semua instansi di Daerah, maka strategi ini harus dipakai sebagai dasar untuk pengambilan
keputusan dan penyusunan anggaran proyek. Tim Teknis dan Tim Pembina akan
menindaklanjuti pelaksanaan dalam hal ini.
Pemantauan
Tim Pembina menyampaikan laporan tentang kemampuan pelaksanaan Renstra ini yang
harus menguraikan antara lain :
(a) Kemajuan umum dalam mencapai Visi dan Tujuan pembangunan Daerah;
(b) Hasil pemantauan dari setiap kebijakan dalam Renstra tersebut; dan
(c) Segala masalah khusus dan pelaksanaannya untuk mengatasi masalah tersebut.
Secara tahunan Tim Pembina harus menyampaikan laporan yang disajikan pada pertemuan
Tim tidak lebih dari 2 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran (misalnya bulan Februari
setiap tahun). Salinan laporan tahunan tersebut didistribusikan kepada instansi terkait.
Tinjauan dan Revisi Strategi
Strategi Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu Daerah perlu ditinjau kembali secara
teratur dan direvisi. Untuk keperluan itu direncanakan 3 bentuk tinjauan, yaitu :
Pedoman Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu
27
(a) Tinjauan Resmi Tahunan
(b) Tinjauan Lima Tahun
(c) Tinjauan Periodik
Tinjauan resmi tahunan harus dilakukan oleh Tim Teknis Daerah dan Tim Pembina Daerah.
Tinjauan ini didasarkan pada hasil pemantauan pelaksanaan tahunan yang dibandingkan
dengan indikator kinerja, serta segala bentuk perkembangan baru. Tinjauan ini difokuskan
terutama pada pengalaman pelaksana kebijakan yang ada serta kemajuan yang dicapai unsur
lain dari perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu.
Tinjauan
yang perlu dilakukan untuk mensinkronkan Renstra PPT Daerah dengan rencana
pembangunan lainnya. Tinjauan ini akan memberikan kesempatan untuk mengkaji kembali
dan memperbaharui Visi dan Tujuan Daerah dan melibatkan komunikasi dengan semua unsur
terkait. Tinjauan
Tinjauan periodik diperlukan saat muncul masalah atau proyek baru atau saat diperolehnya
pengalaman baru selama pelaksanaan Strategi tersebut. Ketiga bentuk tinjauan tersebut
memfokuskan diri utamanya pada keberadaan kebijakan khusus dan diprakarsai oleh Tim
Pembina. Strategi Daerah dapat direvisi dan revisi Strategi harus mengikuti proses yang sama
sebagaimana pembuatan suatu Strategi. Sebagaimana suatu revisi, alasan untuk perubahan
harus didokumentasikan dan dikonsultasikan dengan semua pihak yang berkepentingan.
4.6. Masa Berlaku
Renstra mencakup perencanaan jangka menengah dan jangka panjang. Dokumen Renstra Pengelolaan Pesisir Terpadu yang akan disusun Pemda sebaiknya mencakup 10-20 (sepuluh sampai dua puluh) tahun periode perencanaan, sehingga Renstra ini akan sesuai dengan target secara nasional untuk masuk globalisasi tahun 2020.
V. RENCANA PEMINTAKATAN (ZONING PLAN)
5.1. Pendahuluan
Bab ini menjabarkan mengenai mekanisme penyusunan rencana pemintakan (zoning plan)
pesisir. Pembahasan penyusunan rencana pemintakatan berisi uraian tentang tujuan,
pendekatan, isi rencana pemintakatan, proses penyusunan rencana pemintakatan, dan masa
berlaku rencana pemintakatan .
5.2. Tujuan Rencana Pemintakatan
Tujuan penyusunan rencana pemintakan ini adalah untuk membagi wilayah pesisir dalam
zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung
(compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible).
Penentuan zona tersebut difokuskan berdasarkan kegiatan utama dan prioritas pemanfaatan
sumberdaya pesisir guna mempermudah pengendalian dan pemanfaatan. Rencana
pemintakatan menjelaskan fokus kegiatan dan nama zona yang dipilih berdasarkan kondisi
dan kegiatan yang diizinkan atau dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu. Kegiatan
bersyarat tersebut tidak perlu ditujukan untuk suatu zona tetapi pada waktu yang bersamaan
dapat dipertimbangkan berkesinambungan pada suatu zona khusus. Penetapan rencana
pemintakatan dimaksudkan untuk memelihara keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam
jangka panjang serta mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem pesisir akibat
kegiatan yang tidak sesuai (incompatible).
5.3. Pendekatan
Penyusunan rencana pemintakatan dilakukan melalui tiga pendekatan. Pertama, penyusunan
rencana pemintakatan mempertimbangkan kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, kepentingan masyarakat dan hak-hak ulayat, serta
kepentingan yang bersifat khusus. Kedua, pendekatan bio-ekoregion dimana ekosistem
pesisir dibentuk oleh sub-ekosistem yang saling terkait satu sama lainnya. Oleh sebab itu
kombinasi penggunaan data biogeofisik yang menggambarkan kondisi bio-ekoregion
merupakan persyaratan yang dibutuhkan (necessary condition) dalam menetapkan zona-zona
yang akan dipilih. Pendekatan ketiga, dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi
yang dapat digali dari persepsi masyarakat yang hidup di sekitar ekosistem tersebut, terutama
kontek historis mengenai kejadian yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir
dari masa lampau sampai saat ini, serta implikasinya terhadap keberlanjutan sumberdaya
pesisir tersebut. Misalnya, apakah jumlah tanggapan nelayan berkurang sejalan
perkembangan waktu, atau kejadian coral bleaching.
5.4. Isi Rencana Pemintakatan
Identifikasi zona tidak terbatas pada peruntukan, namun yang lebih penting ialah deskripsi
yang sesuai dengan yang diberikan untuk tiap zona dalam dokumen rencana pemintakatan .
Deskripsi untuk zona-zona pilihan dibuat dalam bentuk "Pernyataan Pemintakatan".
Pernyataan pemintakatan merupakan elemen kunci dari rencana pemintakatan . Dokumen
tersebut menyajikan informasi berdasarkan tiga pendekatan di atas, yaitu informasi
mengenai: kebijakan dan dasar hukum, kondisi bio-ekoregion dan perspektif masyarakat
terhadap bagaimana sebaiknya sumberdaya tersebut dikelola. Disamping itu, pernyataan
pemintakatan menyajikan keterangan rinci yang membantu para pembuat keputusan dan
mereka yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan rencana untuk menjelaskan tentang zona
itu sendiri. Rencana pemintakatan berisi informasi terinci yang disajikan dengan sistematika
sebagai berikut:
i. Pendahuluan,
ii. Isi Pernyataan,
iii. Tujuan Zona,
iv. Kegiatan yang Diizinkan, Dilarang, dan Bersyarat, dan
v. Pedoman Pengelolaan
i. Pendahuluan
Bagian ini memuat latar belakang perlunya disusun Rencana Pemintakatan
Propinsi/Kabupaten/Kota, seperti konteks global, nasional dan daerah, serta harapan manfaat
dan kegunaannya.
ii. Isi Pernyataan
Isi pernyataan pemintakatan secara spesifik berasal dari suatu analisis data dan karakteristik
sumberdaya pesisir dan sosial ekonomi yang relevan dengan tiap zona. Pertimbangan
pemintakatan harus mencerminkan kenyataan yang ada di lapangan. Pernyataan
pemintakatan mempertimbangkan serangkaian data sebagai berikut:
• bio-ekoregion wilayah pesisir,
• kesesuaian dan peruntukan sumberdaya pesisir,
• penggunaan masa lalu, sekarang dan mendatang,
• alokasi sumberdaya pesisir,
• kepekaan lingkungan pesisir, dan
• keterkaitan pemintakatan dengan pengembangan peruntukannya dan keterkaitannya
dengan pemintakatan lainnya yang berdekatan.
• Keterkaitan pemintakatan dengan ruang lainnya di hulu dan di luar pesisir.
Pedoman Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu
30
Pernyataan pemintakatan ditentukan berdasarkan peruntukan sumberdaya yang paling sesuai
dan dominan. Pernyataan tersebut berisikan pernyataan zona, tujuan zona, dan menyajikan
suatu daftar tentang penggunaan yang diizinkan, yang tidak diizinkan dan yang bersyarat
serta pedoman pengelolaannya. Format rencana pemintakatan diuraikan dalam Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Format Pernyataan Kebijakan Zona
Isi | RINCIAN |
Zona | Zona ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokkan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama |
Maksud Zona | Maksud yang ditentukan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh untuk zona |
Pernyataan Zona | Mendiskripsikan daerah pesisir termasuk kualitas fisik dan pernyataan mengenai kecocokan dan pola pemanfaatan sekarang |
Tujuan Zona | Tujuan zona adalah spesifik bagi zona yang dipertimbangkan dan memberikan keterangan dengan perincian tertentu untuk menentukan kegiatan yang diizinkan |
Penggunaan yang diizinkan | Ditentukan oleh sasaran kebijakan Perundang-undangan dan kemampuan kelembagaan daerah. |
Pedoman Pengelolaan | Ditentukan secara sektoral dan mencerminkan kebijakan dan perundang-undangan. Dititik beratkan pada perlindungan lingkungan, konservasi dan pengelolaan sumberdaya yang lestari. |
iii. Tujuan zona
Tujuan zona harus dinyatakan secara jelas dan menerangkan maksud pengelolaan zona.
Sebagai contoh pernyataan tentang tujuan zona dapat berbunyi sebagai berikut :
"Tujuan zona perlindungan laut ialah untuk melindungi ekosistem pesisir dari berbagai
intervensi dengan membiarkan ekosistem tersebut tumbuh dan berkembang secara alami,
serta menjamin ketersediaan plasma nutfah ke perairan sekitarnya"
Penentuan tujuan zona memberikan pedoman dan bantuan teknis guna merumuskan dan
menentukan pengendalian perencanaan yang memberi arah kepada penggunaan sumberdaya
pesisir yang disepakati. Pernyataan zona dan kegiatan dominan yang dizinkan berikut
pedoman pengelolaan yang menyertainya memberikan sarana kebijakan dan teknis untuk
mencapai sasaran.
iv. Kegiatan yang diizinkan, dilarang, dan bersyarat
Penetapan zona untuk kegiatan yang diizinkan, dilarang, dan bersyarat ditetapkan
berdasarkan maksud pembentukan zona tersebut dan persyaratan-persyaratan yang telah
Pedoman Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu
31
disusun, serta kesesuaian peruntukan. Informasi peruntukan zona bersifat mudah dimengerti
dan diinterpretasikan.
v. Pedoman Pengelolaan
Pedoman pengelolaan diperlukan untuk mengurangi atau meminimalkan dampak lingkungan
yang mungkin terjadi dari kegiatan pemanfaatan dan pembangunan yang telah ada maupun
yang diusulkan. Hal ini diharapkan dapat mendorong kelestarian lingkungan dalam jangka
panjang dan mempermudah penyusunan langkah-langkah antisipatif untuk memperbaiki
lingkungan. Sebagai contoh, suatu pedoman pengelolaan konservasi dapat berbunyi sebagai
berikut :
"Penentuan batas untuk semua daerah yang dikonservasi harus dilakukan dengan jelas
dengan menggunakan batas-batas alami atau titik-titik koordinat dipeta yang dapat
ditetapkan secara mudah dan murah"
Pedoman pengelolaan harus spesifik untuk menjamin bahwa apa yang dimaksudkan adalah
jelas bagi pembaca untuk memudahkan implementasinya. Secara ringkas, pedoman
pengelolaan memuat langkah-langkah dalam menentukan :
(a) Kondisi, persyaratan atau standar untuk kegiatan-kegiatan yang mempunyai pengaruh
langsung ataupun tidak langsung terhadap pengguna sumberdaya;
(b) Kegiatan pengumpulan informasi; dan
(c) Tatacara pengambilan keputusan.
5.5. Masa Berlaku Rencana Pemintakatan
Masa berlaku rencana pemintakatan adalah 5 - 10 tahun dengan mengacu kepada Rencana
Tata Ruang provinsi/kabupaten/kota. Perubahan terhadap masa berlaku rencana pemintakatan
ini dimungkinkan sebagai antisipasi terhadap berbagai dinamika di wilayah pesisir dengan
memperhatikan dampaknya secara menyeluruh didalam cakupan ruang.
VI. RENCANA PENGELOLAAN (MANAGEMENT PLAN)
6.1. Pendahuluan
Bagian ini menjelaskan mekanisme penyusunan rencana pengelolaan pesisir yang meliputi
uraian tentang tujuan, pendekatan, isi rencana pengelolaan, proses penyusunan, dan masa
berlaku rencana pengelolaan.
6.2. Tujuan Rencana Pengelolaan
Tujuan rencana pengelolaan adalah menyajikan arahan bagi stakeholders tentang skala
prioritas pemanfaatan sumberdaya pesisir.
6.3. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan rencana pengelolaan hendaknya bersifat
akomodatif, suportif, protektif, dan antisipatif. Akomodatif dalam arti dokumen diharapkan
memenuhi kebutuhan berbagai macam pengguna sumberdaya. Suportif berarti mampu
mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang sesuai. Protektif mengandung makna
melindungi wilayah pesisir yang secara ekologis sangat penting (termasuk mangrove,
lamun, terumbu karang) dan aspek-aspek lain tentang lingkungan pesisir. Antisipatif dalam
arti diharapkan mampu mengatasi konflik dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan potensi
kerusakan sumberdaya pesisir.
6.4. Isi Rencana Pengelolaan
Dokumen rencana pengelolaan direkomendasikan memiliki daftar isi sebagai berikut:
i. Ringkasan Eksekutif
ii. Kerangka Acuan
iii. Permasalahan Mintakat Pesisir
iv. Mintakat Pesisir dan Pengelolaan
v. Kondisi Sumberdaya pesisir
vi. Evaluasi Pilihan
vii. Perubahan Pemanfaatan Sumberdaya yang Disarankan
viii. Rencana Pemintakatan
ix. Rencana Pelaksanaan
x. Prosedur Pemantauan dan Revisi
xi. Informasi Penunjang
Pedoman Umum Pengelolaan Pesisir Terpadu
33
Adapun uraian isi rencana pengelolaan adalah:
i. Ringkasan eksekutif merupakan ringkasan sasaran yang memuat perubahan yang
diusulkan dalam penggunaan sumberdaya pesisir dan metode pelaksanaan.
ii. Kerangka acuan mencakup daerah, permasalah dan tujuan.
iii. Permasalahan Mintakat Pesisir, menyajikan gambaran sistem pemintakatan pesisir
yang ada dan permasalahan pemanfaatan.
iv. Mintakat Pesisir dan Pengelolaan, menyajikan sistem baru pemanfaatan
sumberdaya yang disarankan untuk wilayah pesisir.
v. Kondisi Sumberdaya, berisi peta, tabel, dan penjelasan yang menunjukkan
kemampuan fisik setiap jenis sumberdaya dan kecenderungan pemanfaatannya.
vi. Evaluasi Pilihan, berisi tentang analisis dampak terhadap lingkungan, ekonomi,
dan sosial dari berbagai pilihan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir.
vii. Perubahan Pemanfaatan Sumberdaya pesisir yang disarankan, berisi pernyataan
mengenai zona yang telah dipilih beserta alasan penetapannya dan dampak dari
perubahan tersebut berkaitan dengan zona lainnya.
viii. Rencana Pemintakatan Pesisir, berisi peta dan penjelasan yang menunjukkan
pemintakatan yang diusulkan dan perubahan pemanfaatan sumberdaya pesisir.
ix. Rencana Pelaksanaan, meliputi prosedur perbaikan yang direncanakan dapat
dilaksanakan, kebutuhan staf, pelatihan, penyuluhan, prasarana, perlengkapan,
penelitian, jadwal waktu dan anggaran.
x. Prosedur Pemantauan dan Evaluasi, menjelaskan prosedur pemantauan dan
evaluasi tingkat keberhasilan, serta upaya penyesuaian yang dibutuhkan.
xi. Informasi Penunjang, berisi informasi terinci yang dikumpulkan dalam rangka
melaksanakan rencana pengelolaan (misalnya inventarisasi mangrove, data
penduduk, peta dan statistik, penggunaan lahan, pengkajian prasarana, pemasaran,
ringkasan wawancara dengan stakeholders, dan sebagainya).
6.5. Proses Penyusunan
Penyusunan dokumen rencana pengelolaan terdiri dari enam tahap yang meliputi (i)
identifikasi dan penyajian gambaran umum pesisir, (ii) pemaduserasian pengelolaan pesisir,
(iii) pemintakatan, (iv) penetapan jadual usulan zona pesisir, (v) pernyataan maksud zona
pesisir, dan (vi) penetapan matriks kegiatan yang berhubungan dengan setiap zona pesisir
6.6. Masa Berlaku
Masa berlaku dokumen Rencana Pengelolaan adalah tiga sampai lima tahun, namun
dimungkinkan untuk melakukan penyesuaian apabila muncul isu-isu atau permasalahan
mendasar yang diperkirakan mempengaruhi kinerja pengelolaan pesisir.
VII. RENCANA AKSI (ACTION PLAN)
7.1. Pendahuluan
Bab ini mendeskripsikan proses dan mekanisme penyusunan rencana aksi pesisir yang meliputi uraian tentang tujuan, pendekatan, isi rencana aksi, proses penyusunan, dan masa berlaku rencana aksi.
7.2. Tujuan Rencana Aksi
Tujuan rencana aksi adalah menyiapkan kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan rencana pengelolaan. Rencana aksi merupakan rencana sektoral yang menyajikan kegiatan program dan proyek, yang bisa berbentuk Daftar Usulan Proyek Daerah (DUP/DUPDA) dan Daftar Usulan Kegiatan (DUK).
7.3. Pendekatan
Pendekatan yang perlu untuk diperhatikan adalah pendekatan secara administaratif dan ekologis serta karakteristik dari masing-masing daerah.
7.4. Isi Rencana Aksi
Dokumen rencana aksi merupakan format rinci pengembangan rencana pengelolaan terpadu kawasan pesisir secara garis besar. Dokumen rencana aksi disarankan memiliki daftar isi sebagai berikut:
i. Konteks;
ii. Pernyataan sasaran;
iii. Tujuan;
iv. Strategi pelaksanaan;
v. Program;
vi. Pemantauan dan evaluasi rencana aksi.
Uraian isi rencana aksi adalah sebagai berikut :
i. Konteks: merupakan pengulangan bagian yang berkaitan dengan pengembangan
rencana aksi dan instansi sektor tertentu yang menyusun rencana aksi.
ii. Pernyataan sasaran: menggambarkan sasaran rencana aksi dalam satu kalimat dengan
menguraikan sasaran jangka pendek, menengah dan/atau panjang.
iii. Tujuan: menjabarkan secara seksama tujuan yang ingin dicapai dalam rencana aksi,
yang terdiri dari tujuan fisik, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan dan lingkungan.
iv. Strategi pelaksanaan: menjelaskan tindakan atau cara-cara yang akan dilakukan secara
strategis.
v. Program: mendeskripsikan kegiatan tertentu yang diperlukan untuk mencapai sasaran
dan tujuan strategis. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah program pada
rencana aksi harus diurut dalam suatu daftar kegiatan. Setiap program harus harus
mencerminkan setiap tujuan rencana aksi, dan mekanisme pembiayaan.
vi. Pemantauan dan evaluasi rencana aksi: berisi penjelasan tentang instansi penanggung
jawab, instansi pelaksana, dan jangka waktu pemantauan dan evaluasi.
7.5. Proses Penyusunan Rencana Aksi
Rencana aksi dijabarkan dari kegiatan-kegiatan yang tertuang dalam rencana pengelolaan, rencana pemintakatan , dan rencana strategis. Dari rencana strategis biasanya setiap strategi yang dipilih memerlukan satu atau beberapa kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasaran.
Sebagai contoh, strategi dalam merehabilitasi mangrove adalah dengan cara menanam kembali mangrove atau mengeleminir factor-faktor yang menyebabkan kerusakan mangrove dan membiarkannya tumbuh secara alami. Dalam konteks menanam kembali maka dalam rencana aksinya disusun berapa batang mangrove yang akan ditanam dalam satu tahun anggaran, teknologi yang digunakan, serta input lainnya.
Dokumen rencana aksi yang memuat kegiatan ekonomi biasanya dibiayai melalui investasi swasta atau investasi masyarakat. Sedangkan kegiatan yang bersifat prasarana umum seperti pembangunan jalan, dermaga, papan pengumuman, dan tempat sampah biasanya dibiayai dari anggaran pemerintah. Dalam pembangunan prasarana umum disusun rencana tapak (site plan) untuk selanjutnya diimplementasikan pada tahun berikutnya, serta biaya pelaksanaan yang dianggarkan pada DUP/DUPDA.
Untuk kegiatan yang dibiayai lembaga perbankan memerlukan proposal sebagai persyaratan yang dibutuhkan dalam keputusan kelayakan usaha. Kriteria umum yang dipersyaratkan bagi kelayakan suatu usaha adalah benefit cost ratio (B/C) lebih besar atau sama dengan satu, dan net present value (NPV) lebih besar dari nol. Penilaian tersebut harus mempertimbangkan biaya ekonomi lingkungan sebagai bagian dari biaya internal bukan eksternal.
7.6. Masa Berlaku Rencana Aksi
Masa berlaku rencana aksi adalah satu sampai dua tahun. Perbaikan rencana aksi dimungkinkan apabila terdapat perubahan isu-isu utama yang mengubah rencana pengelolaan.
VIII. MEKANISME PENGESAHAN
Dokumen perencanaan dimaksud ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Secara bertahap disosialisasikan dan disempurnakan selanjutnya ditetapkan dengan Perda sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sah. Kekuatan hukum tersebut mengikat setiap pelaku pembangunan dan investasi di wilayah pesisir untuk mengikuti dan konsisten dengan Program PPT. Kegiatan pembangunan yang bertentangan dengan PPT tidak diberikan izin rekomendasi atau izin pembangunan. Jika pelanggaran masih berlangsung, diberi peringatan atau sanksi administratif.
IX. PENUTUP
Pedoman Umum ini dikeluarkan untuk menjadi arahan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan pengelolaan pesisir terpadu yang berkelanjutan.
DITETAPKAN DI : JAKARTA
TANGGAL : OKTOBER 2002
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,
ROKHMIN DAHURI