Perusahaan Angkutan Dapat Lakukan Bongkar Muat

BONGKAR muat barang dari dan ke kapal, merupakan kegiatan yang sangat diperlukan dalam pengangkutan barang. Sebagai bagian dari angkutan laut, kegiatan bongkar muat barang menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam sistem angkutan laut. Kelancaran dan kecepatan kapal meninggalkan pelabuhan, sangat tergantung dari kecepatan dan kelancaran kegiatan bongkar muat barang.
Mengingat hubungannya yang demikian erat dengan kegiatan angkutan laut, maka pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang senantiasa mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Adapun pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bongkar muat ini adalah perusahaan angkutan laut, perusahaan yang mengelola pelabuhan, perusahaan bongkar muat, tenaga kerja, pemilik barang dan Pemerintah.
Begitu banyak pihak yang berkepentingan dengan kegiatan bongkar muat barang, hingga kegiatan ini harus mendapat pengaturan yang cukup rinci dari Pemerintah. Pengaturan demikian, sungguh sangat dibutuhkan. Tanpa pengaturan dari pemerintah, kegiatan ini tidak mungkin dapat dilakukan secara sinkron dan optimal.
Pengaturan mengenai kegiatan bongkar muat, mencakup berbagai aspek yang saling berkaitan. Di antaranya tentang: i) perusahaan yang dibolehkan melakukan kegiatan bongkar muat; ii) pedoman tarip bongkar muat; iii) tenaga kerja yang melakukan bongkar muat; iv) produktivitas dan kecepatan bongkar muat.

Perusahaan Bongkar Muat
Kegiatan bongkar muat, tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Ketentuan yang mengatur kegiatan bongkar muat barang ini, baru ditemukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.2 tahun 1969 yang masa berlakunya sudah berakhir tahun 1988.
Dalam PP No. 2 ini dinyatakan, kegiatan bongkar muat barang dilakukan oleh perusahaan bongkar muat (PBM) yang didirikan khusus untuk itu. Dengan begitu, perusahaan angkutan laut yang memiliki dan mengoperasikan kapal, tidak boleh melakukan kegiatan bongkar muat barang.
Tapi, ketentuan dalam PP ini, cukup lama tidak diberlakukan. Dan selama tidak diterapkan ketentuaan itu, kegiatan bongkar muat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut. Sedangkan pelaksanaannya di lapangan, diserahkan pada tenaga kerja bongkar muat yang tersedia di pelabuhan.
Penanganan kegiatan bongkar muat barang, baru diserahkan pada PBM sejak keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 1985. Penyerahan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No.88/305/Phb-85.
Prinsip kegiatan bongkar muat barang harus dilakukan perusahaan bongkar muat khusus, terus berlanjut sampai tahun 1999, kendati PP No.17 tahun 1988 yang mengganti PP No.2 tahun 1969, tidak mengatur hal itu secara jelas. Penerapan prinsip ini didukung oleh Keputusan Menteri Perhubungan No.13 tahun 1988 yang memberi kelonggaran untuk mendirikan PBM.
Penyerahan pelaksanaan bongkar muat pada PBM, pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan spesialisasi kegiatan angkutan laut dan kegiatan penunjang angkutan laut. Dengan adanya spesialisasi tugas dan kegiatan, maka profesionalisme pengelolaan usaha diharapkan akan mengalami peningkatan.
Peningkatan profesionalisme pengelolaan usaha, khususnya di bidang bongkar muat barang, secara teoritis akan meningkatkan kelancaran dan kecepatan bongkar muat di pelabuhan. Dengan lancar dan cepatnya kegiatan bongkar muat, maka masa berlabuh (port days) dapat ditekan serendah mungkin. Begitu pula masa perputaran kembali (turn round time) menjadi lebih cepat.
Tapi, harapan itu tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Sesuai dengan kelonggaran yang diberikan Pemerintah untuk mendirikan PBM, jumlah PBM terus mengalami peningkatan. Dengan banyaknya PBM yang beroperasi di pelabuhan, tingkat profesionalisme pengelolaan usaha, tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan, akibat banyaknya perusahaan, praktik persaingan tarif tidak dapat dihindarkan.

Perusahaan Angkutan Laut
Sesungguhnya, kegiatan bongkar muat barang dapat menjadi salah satu sumber pendapatan perusaahaan angkutan laut. Oleh sebab itu, penyerahan kegiatan bongkar muat barang kepada PBM, mengakibatkan hilangnya sumber pendapatan perusahaan angkutan laut.
Sejalan dengan keterpurukan yang dialami kapal nasional sejak pemberlakuan deregulasi pada 1988, hilangnya pendapatan dari kegiatan bongkar muat, sangat mempengaruhi kinerja perusahaan angkutan laut. Oleh sebab itu, perusahaan angkutan laut meminta kepada Pemerintah untuk memberikan kesempatan kembali untuk melakukan kegiatan bongkar muat barang.
Permintaan perusahaan angkutan laut itu, tentu tidak berlebihan. Undang-undang Pelayaran No.21 tahun 1992, tidak menutup kesempatan bagi perusahaan angkutan laut melakukan kegiatan bongkar muat. Dalam UUP No.21 tahun 1992 dinyatakan, untuk menunjang usaha angkutan laut dapat diselenggarakan kegiatan penunjang angkutan laut, di antaranya kegiatan bongkar muat.
Pemerintah yang prihatin menyaksikan kehidupan kapal-kapal nasional, dengan berbagai pertimbangan mengabulkan permintaan perusahaan angkutan laut. Dalam PP No. 82 tahun 1999 yang menjadi peraturan pelaksana UUP No.21 tahun 1992 ditentukan, perusahaan angkutan laut dalam negeri dan luar negeri dapat melakukan kegiatan bongkar muat.
Selanjutnya dalam penjelasan PP tersebut dinyatakan, kegiatan bongkar muat yang dilakukan perusahaan angkutan laut hanya terbatas untuk melayani kapal milik dan kapal yang dioperasikan secara nyata (charter). Dengan demikian, kegiatan bongkar muat kapal-kapal keagenan dan kapal lain, tetap menjadi porsi PBM.
Namun, ketentuan ini tidak sepenuhnya dapat diwujudkan dalam praktik. Dalam Keputusan Menteri Perhubungan No.33 tahun 2001 ditentukan, kegiatan bongkar muat barang untuk kapal milik dan kapal yang dioperasikan melalui chater, hanya berlaku terhadap barang: i) milik penumpang; ii) barang curah cair yang dimuat atau dibongkar melalui pipa; iii) barang curah kering yang dimuat dan dibongkar melalui conveyor atau sejenisnya; iv) barang yang diangkut dengan kapal Roro.
Perusahaan angkutan laut hanya dibenarkan melakukan bongkar muat semua jenis barang jika di pelabuhan persinggahan tidak ada PBM. Dengan begitu, tidak ada yang dirugikan. (***)