Respon Penelitian Dampak Pembuangan Tailing ke Laut.
Terbentur Pada Penegakan Hukum yang Lemah
Dan Kepedulian Pemerintah Yang Minim



A. PENDAHULUAN

Perdebatan mengenai limbah tailing menjadi bahasan yang kini banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Keluhan masyarakat Teluk Buyat, Minahasa terhadap adanya pencemaran perairan menjadi awal perhatian. Banyak ahli dan beberapa kajian mempersoalkan keamanan sistem pembuangan tailing oleh PT.Newmont Minahasa Raya ke Teluk Buyat tersebut. Dampaknya terhadap perikanan setempat secara jelas dapat tergambarkan. Limbah tailing yang masih mengandung logam berbahaya seperti merkuri, Arsen, dan lainnya juga mengandung resiko kesehatan yang sangat besar.

Saat ini, isu pembuangan limbah tailing1 bukanlah pada pembuktian terjadinya pencemaran, namun lebih pada mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam hal penegakan hukum. Selama ini terlihat respon pemerintah terhadap pengaduan masyarakat masih terbatas pada formalitas dan lips service. Pemerintah tidak menunjukkan inisiatif untuk menempuh proses penegakan hukum yang semestinya. Pemerintah bahkan mensia-siakan proses Tim Verifikasi2 yang seharusnya merupakan satu bentuk proses penyelesaian sengketa yang baik.

Kurangnya pemahaman mengenai pembuangan limbah tailing ke laut merupakan salah satu faktor lain mengapa pembuangan tailing ke laut saat ini masih terus berlangsung. Sejak awal pemerintah tidak memiliki gambaran (studi) soal keamanan

1 Tailing merupakan limbah berbentuk lumpur hasil penggerusan /penghancuran batuan tambang untuk memisahkan emas dan atau logam logam berharga lainnya dari batuan. Pada tailing masih terdapat berbagai jenis logam, termasuk logam berbahaya (Merkuri, Arsen, Mangan, dan lainnya) yang secara lamiah terkandung pada batuan tersebut. Logam ini sebenarnya aman ketika berada di perut bumi,namun berbahaya jika masuk dalam kehidupan manusia.
2 Proses verifikasi adalah respon pemerintah terhadap usulan Walhi untuk melakukan verifikasi di lapangan sesegera mungkin dan kemudian membentuk tim independen. Namun usulan tersebut tidak seluruhnya dipenuhi, pemerintah (Ditjen Pertambangan Umum) menginginkan verifikasi dekstop (terhadap penelitian yang telah dilakukan berbagai pihak) terlebih dahulu, baru kemudian menindaklanjuti rekomendasi yang dikeluarkan para ahli dalam Tim Verifikasi. Proses Verifikasi ini berhenti ditengah jalan tanpa ada inisiatif pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi para ahli independen, yakni investigasi di lapangan. Telah beberapa kali WALHI dan anggota tim ahli mengingatkan pihak Ditjen Pertambangan Umum mengenai rekomendasi ini, namun tidak ada tanggapan sama sekali.

pembuangan tailing ke laut. Alhasil, pembuangan tailing ke laut berlangsung tanpa ada perangkat hukum yang cukup sebagai dasar monitoring dan mengambil tindakan.

B. Perangkat Peraturan Minim Dan Salah Sasaran

Pembuangan tailing terus berlangsung tanpa ada perangkat hukum yang cukup untuk mengambil tindakan maupun sebagai acuan monitoring. Dengan gambaran yang kompleks mengenai keamanan tailing di laut, satu-satunya peraturan yang digunakan untuk mengontrol buangan tailing di laut adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.02/1988 tentang Kualitas Air Laut. Dengan hanya ada satu parameter sebagai alat monitoring dan mengambil tindakan, maka dapat dipastikan bahwa tidak cukup peraturan untuk menjerat pencemaran di laut oleh limbah tailing.

b.1 Tailing sebagai limbah non-B3 menurut PP 18/1999

Melalui Peraturan Pemerintah No.18/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun), limbah batuan tambang (tailing) dinyatakan sebagai sebagai limbah non-B3. Dengan ketetapan tersebut, maka pengujian kadar toksik pada tailing tidak dilakukan pada tailing sebelum dibuang ke laut, melainkan pada effluen-nya. Dengan demikian yang diukur selama ini adalah parameter lingkungan dimana efflen tailing ditempatkan, yakni kualitas air laut.

Kadar toksisitas tailing sebagai effluen tentu menghasilkan angka terukur yang berbeda dari kadar toksik tailing sebenarnya. Jika tailing ditempatkan di alam, maka daya toksisitas akan terbagi pada air dan pada tailing tersebut sebagai sedimen. Dengan demikian daya toksik (toksisitas) yang terukur pada air laut jauh lebih rendah seandainya yang diukur adalah daya toksik (toksisitas) pada tailing sebelum di lepas ke alam.

Proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) ini menimbulkan banyak kecaman dan hanya menguntungkan pihak perusahaan tambang. PP ini telah salah sasaran dalam menentukan parameter pengujian potensi pencemaran di laut. Kriteria tailing sebagai limbah non-B3 pada PP ini merupakan gambaran kuatnya pengaruh perusahaan tambang dalam penyusunan peraturan lingkungan di Indonesia.

b.2 Perangkat Uji Toksik tailing di laut

Satu-satunya perangkat peraturan yang ada untuk mengukur parameter pencemaran di laut hanyalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.2 tahun 1988 tentang Kualitas Air di Laut. Keputusan Menteri ini menjadi satu-satunya acuan (baku mutu) untuk melihat indikasi pencemaran di laut, termasuk didalamnya oleh limbah tailing pertambangan. Sementara peraturan untuk parameter pencemaran yang lain, yakni sedimen dan bioindikator di laut (benthos dan ikan) belum tersusun. Sebagaimana telah diketahui, bioindikator (benthos= hewan dasar laut, ikan) merupakan indikator terpenting untuk melihat secara jelas terjadinya pencemaran tailing di laut. Bioindikator dapat menunjukkan proses akumulatif logam berbahaya di laut pada makhluk hidup. Dengan bioindikator dapat dilihat kemungkinannya secara langsung terhadap gangguan kesehatan manusia melalui konsumsi ikan dan hewan benthos (kerang dan lainnya). Kurangnya indikator pencemaran dalam perangkat perundangan kita merupakan gambaran keterbatasan pengetahuan tentang gambaran menyeluruh bagaimana proses pencemaran terjadi di alam. Dalam banyak kasus di beberapa lokasi pertambangan, limbah tailing tetap tercatat masih dibawah ambang batas menurut peraturan walaupun dampak pencemaran telah terbukti secara nyata pada masyarakat. Kurangnya indikator pencemaran yang tepat merupakan juga salah satu penyebab kasus-kasus tersebut terjadi.

Selama ini PT.NMR mendapatkan keuntungan dari kekurangan perangkat hukum tersebut. PT.Newmont Minahasa Raya tidak pernah menampilkan laporan konsentrasi logam berbahaya pada sedimen (tailing) dan organisme benthos di laut pada setiap laporan monitoring rutin perusahaan (RKL/RPL. Pemerintah pun tidak mewajibkan perusahaan untuk melakukan /menampilkan indikator tersebut. Ini memungkinkan kegiatan pencemaran laut tidak tersentuh (ditindak) oleh karena lemahnya peraturan lingkungan Indonesia.

C. Prediksi Dampak dan Telah Terjadi

C.1 Penyebaran Tailing dan Daya Toksik

Ada 2 hal utama seharusnya menjadi kekhawatiran pemerintah menyangkut keamanan pembuangan tailing ke laut, yakni penyebaran tailing dan daya toksik (toksisitas) pada tailing.

Pembuangan tailing ke laut (STD) menjadi kekhawatiran karena pipa tailing diletakkan pada perairan yang dangkal dan subur sehingga tailing yang keluar dari pipa dapat dipermainkan oleh arus, pasang surut dan turbulence.Tidak benar bahwa pembuangan tailing berada di bawah lapisan thermoklin dan akan menetap stabil di dasar laut. Hal penting lain yang tidak diperhitungkan adalah peristiwa Up-welling, yakni naiknya massa air yang ada di dasar laut ke permukaan. Up-welling dipastikan akan mengangkat limbah tailing ke permukaan dan menyebar.

Melihat gambaran diatas maka dapat tergambarkan dampak yang bakal terjadi apabila tailing ditempatkan pada dasar laut di kedalaman tersebut. Demikian pula sebaliknya, dapat melihat hubungan antara penyakit yang diderita masyarakat saat ini dengan sumber pencemar di laut.

C.2 Mine Closure

Kedua faktor tersebut di atas, penyebaran dan daya toksik tailing, membuat rehabilitasi perairan paska tambang (mine closure) menjadi sulit dan mahal untuk dilakukan. Jika pemerintah menyadari kesulitan yang bakal dihadapi untuk merehabilitasi perairan maka tentunya akan berpikir panjang sebelum membiarkan pembuangan tailing ke laut (STD) berlangsung. Hingga saat ini pemerintah tidak memiliki gambaran apapun menyangkut rehabilitasi perairan paska operasi PT.Newmont Minahasa Raya sekitar tahun 2003. Tampaknya kekurangtahuan dan kekurangpedulian pada dampak lingkungan dan sosial tampak menjadi latar belakang mengapa pemerintah tidak begitu khawatir terhadap resiko yang akan dihadapi.

C.3 Dampak Tailing Bagi Kesehatan Masyarakat

Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebagai respon berbagai keluhan penyakit selama 3 tahun terakhir. Penyakit mulai dirasakan sejak 1998 hingga kini ada beberapa bentuk keluhan penyakit yang baru dirasakan sejak awal tahun 2001. Beberapa indikasi/ gejala penyakit yang sering ditemui adalah (1) kategori Gangguan sakit kepala 3 ; (2) Gangguan fungsi berfikir4 ; (3) Gangguan alat indera5 ; (4) Gangguan

3 antara lain: sakit kepala pada bagian belakang, sakit kepala sebahagian (mulai mata kiri hingga bagian urat sebelah kiri), kepala terasa lembek, kepala terasa sangat sakit hingga rambut juga sakit bila disentuh, tidak mampu berbicara, dan badan terasa gemetaran,
4 antara lain : sering 'gagap' , sering terkejut, sering lupa, kehilangan kesadaran (kolaps)
5 antara lain: penglihatan kabur, pendengaran terganggu, mata sering bengkak, mata seperti akan tercabut, sering tidak bisa mendengar, leher dan tenggorokan terasa sakit dan sulit menelan, mata kiri sering mengeluarkan air, telinga berdengung, perasaan mata seperti mau keluar.

fungsi pencernaan6 ; (5) Gangguan fungsi tubuh7. (Hasil wawancara kesehatan oleh tim dokter Desember 2000-Januari 2001). Pemeriksaan sampel darah juga dilakukan sebagai respon atas berbagai gejala penyakit. Berbagai gejala penyakit tersebut diduga berhubungan dengan pencemaran perairan oleh limbah tailing8.

Dampak tailing pada perikanan setempat terlihat dari hasil survei WALHI (2000). Kerusakan terumbu karang dan hilangnya sejumlah spesies tertentu terjadi akibat tumpukan limbah tailing. Melalui survei tersebut diketahui wilayah tangkap ikan masyarakat semakin jauh sejak 3 tahun terakhir. Penelitian 'Kajian Kelayakan Pembuangan Limbah Tailing ke Laut di Perairan teluk Buyat 'oleh PSL Universitas Sam Ratulangi (1999) menunjukkan adanya pencemaran logam berat yang (merkuri, arsen dan sianida) pada sedimen dan beberapa spesies ikan.

D. Perdebatan Sumber Pencemar di Teluk Buyat
PT.Newmont selalu menyudutkan pertambangan rakyat di Teluk Totok sebagai sumber pencemaran di teluk Buyat9. Walaupun PT.NMR mengklaim tidak menggunakan merkuri dalam proses pemisahaan emasnya, namun tailing PT.NMR

6 antara lain: sakit perut sebelah kiri, susah buang air besar, sakit perut seperti ditusuk-tusuk, muncul benjolan-benjolan daging di kepala, benjolan di saluran tenggorokan dan kaki, air kencing seperti lendir (pada pria).
7 antara lain: badan terasa panas dingin, mengalami beberapa kali pingsan seketika, tidak bisa berjalan, pergelangan terasa sakit, tangan dan kaki terasa kesemutan, tulang terasa sakit.

8 Hasil analisa sampel darah yang selesai pada tanggal 26 Oktober 2000 menunjukkan: dari dua puluh sampel didapatkan kadar rata-rata Hg 5,98 ± 2,25 mg/l (2,6 - 10,0 mg/l) dan kadar rata-rata As 19,50 ± 4,34 mg/l (10,10 - 27,10 mg/l). Dibandingkan dengan nilai toleransi acuan (reference range acuan yang digunakan Specialty Laboratories, Michigan, Hg kurang dari 5,0 mg/l ; As kurang dari 11,0 mg/l)-- kadar rata-rata Hg dan As dua puluh orang ini telah melampaui batas toleransi dalam darah. Sebanyak 13 orang responden menunjukkan kadar Hg darah dan 19 orang responden menunjukkan kadar As darah lebih dari nilai toleransi acuan. Penelitian kadar Hg dan As darah dilakukan berdasarkan data dari non-random sampling. Hasil itu menunjukkan kemungkinan 13 dari 20 orang (65 persen) dan 19 dari 20 orang (95 persen) penduduk yang diperiksa terkena kontaminasi Hg dan As yang berpotensi membahayakan kesehatan.

9 Antara Pertambangan Rakyat di sungai Totok dan Teluk Buyat dipisahkan oleh Tanjung Ratatok. Sementara dari tampilan biogeografis, kondisi arus di Teluk Totok bersifat lemah. Demikian pula pola arus lokal di Teluk Buyat digambarkan mengarah ke luar (dokuemen ANDAL) dan cenderung mengarah ke arah pantai Timur Laut (menuju barat Teluk Totok). Kalau dilihat dari gambaran besar pola arus Perairan Nusantara, hal yang sama juga ditunjukkan dimana arus sepanjang pantai antara Pulau Lembeh (100 km Timur Laut tapak lokasi) dan Tanjung Flesko (45 km ke arah barat Laut) dilaporkan mengalir dengan tetap ke arah Timur Laut sepanjang tahun (sumber: ANDAL NMR). Ini menunjukkan bahwa gradien pola dan arah arus, baik arus lokal maupun pola arus Nusantara, mengalir sejajar pantai mengarah ke Teluk Totok dan bukan sebaliknya. Seandainya sedimen dari Sungai Totok bergeser ke luar dari perairan Teluk Totok maka akan menuju Laut Sulawesi dan dibilas oleh air laut.

mengandung konsentrasi Merkuri, Arsen, Cadmium dan logam berat lainnya (terlihat dari laporan-RKL/RPL). Arsen dan Merkuri tersebut memang terkandung dalam batuan secara alami. Kedua logam berat ini merupakan unsur yang cukup tinggi konsentrasinya pada limbah tailing PT.NMR. Jika dilihat dari besarnya kapasitas limbah tailing PT.NMR, maka dapat diperkirakan besarnya merkuri yang dilepaskan di laut. Baik pertambangan rakyat di Teluk Totok dan pertambangan PT. NMR masing-masing berkontribusi pada pencemaran laut di lokasi masing-masing.

E. Proses penegakan hukum
Menteri Negara Lingkungan Hidup /Kepala Bapedal telah menyatakan bahwa sistem pembuangan limbah tailing PT.Newmont Minahasa Raya adalah illegal. Tidak banyak informasi yang bisa didapat dari pemerintah mengapa pembuangan tailing tersebut hingga sekarang masih berlangsung. Yang terjadi saat ini adalah proses penegakan hukum yang berjalan di tempat dan berputar pada perdebatan yang sama. Setiap kajian yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu tidak ditindaklanjuti untuk pada aspek yang lebih luas lagi melainkan munculnya bantahan perusahaan (PT.Newmont Minahasa Raya) terhadap bagian-bagian kajian tersebut. Pengalihan perhatian masyarakat atau upaya pembentukan opini publik menjadi strategi perusahaan. Di lain pihak, masyarakat terus mempertanyakan keadaan yang sebenarnya. Di sini peran pemerintah seharusnya secara tegas dijalani.

Isu menyangkut pembuangan tailing di laut bukanlah pada pembuktian terjadinya pencemaran, melainkan mempertanyakan peran kunci pemerintah sebagai penegak hukum. Adanya kajian ilmiah terdahulu dan kemudian analisa sampel darah masyarakat Teluk Buyat sebenarnya dapat dijadikan sebagai indikasi awal terjadinya pencemaran. Namun, pemerintah tidak menerapkan tugasnya menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principal) dan menjalankan proses penegakan hukum yang semestinya ditempuh. Ini akan memberi dampak yang lebih luas dan fatal. Malapetaka Minahasa
seharusnya dapat dihindari lebih dini